Chapter - O6

98 54 111
                                    

Nadara Rafeyfa Azzura Dirgantara ───────────────Amplop tebal berisikan banyak lembaran uang berwarna merah dapat aku jadikan sebagai alasan agar rasa malu 'ku dapat berkurang walau sedikit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nadara Rafeyfa Azzura Dirgantara
───────────────
Amplop tebal berisikan banyak lembaran uang berwarna merah dapat aku jadikan sebagai alasan agar rasa malu 'ku dapat berkurang walau sedikit. Tampaknya menemui Langga sudah memasuki daftar kegiatan untuk mengisi kekosongan.

Diam-diam aku terus membiarkan otakku berspekulasi. Umm ... bukankah mungkin saja jika Zayn menertawaiku? Ah, iya, lelaki itu pasti akan mencibir 'ku habis-habisan. Dia 'kan, menyebalkan. Pfffttt.

"Akan pergi kemana kau?" interogasi Daddy tatkala aku melewati ruang keluarga. Mereka—dua penyihir dan korban atas sihir penyihir itu—rupanya sedang bersantai ditemani sukacita. Ada canda tawa yang membuatku kembali teringat akan sosok Mommy.

"Panti tempat Bibi Lia," jawabku seadanya. Tak kusangka, Daddy tampak begitu excited. Dia segera bangkit dari tempatnya duduk dan menghampiriku. 

"Aku sudah lama tidak pergi ke sana. Izinkan aku untuk menemanimu, Feyfa," ujarnya. Aku mengulas senyuman, senang. Ternyata Daddy tak sepenuhnya berubah. Setidaknya masih ada dalam ingatannya tentang seorang janda tua yang bertugas memerhatikan kelangsungan hidup anak-anak terlantar di panti asuhan itu. Benar, Daddy sudah lama sekali tidak mengirimkan uang untuk kebutuhan mereka. Mengingat pria ini ketika bersama Mommy-ku adalah seorang donatur utama.

"Boleh—"

"Dio, kamu sudah berjanji mau mengantar aku pergi ke salon. Kalau sudah janji gak boleh ingkar, 'kan?" selah Laurent. Tidak mengagetkan jika wanita itu kembali mengeluarkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Daddy.

"Ah, i-iya benar. Aku harus menemani Laurent. Maaf, ya, Feyfa."

"Tidak apa. Sejujurnya aku memang berencana pergi seorang diri," sinis 'ku lantas melenggang tanpa mendengarkan sepatah katapun. Ada perasaan marah ketika Daddy lagi-lagi memilih wanita sihir itu. Sampai kapan masalah ini akan berlangsung?

Menempuh perjalanan yang tidak begitu memakan waktu, akhirnya aku sampai di gerbang tua karatan ini. Tampak begitu usang. Cat dindingnya banyak yang mengelupas. Ada setumpukan daun maple yang berguguran menghiasi beberapa sudut panti sosial ini. Suara bising dari anak-anak yang berlarian membuat senyumanku kian mengembang.

Dahulu aku juga melakukan hal sama. Kucing-kucingan bersama Langga tercinta. Menikmati hembusan angin yang menyejukkan begitu merasuki raga ini. Ah, itu menyenangkan!

"Awas ntar kesambet."

"Zayn!" aku memekik terkejut. Napasku memburu seperti habis mengikuti perlombaan maraton. Sementara pria ini? Dia terkikik dengan tangannya yang menggenggam erat seorang gadis cilik.

Menyebalkan! Disaat seperti ini aku malah bertindak layaknya gadis bodoh. Oh, ayolah Feyfa. Tidak perlu tertegun akan paripurna seorang Tarazayn.

"Coba lihat siapa yang datang. Sudah lama sekali, Feyfa. Kira-kira sepuluh tahun dari masa itu?" interogasi Bibi Lia yang entah sejak kapan menyadari kehadiranku disini. Aku terkekeh sesaat, tak dapat dipungkiri aku memang jarang sekali menampakkan batang hidungku di tempat ini. Bahkan, nyaris tidak pernah.

Best Part [ COMPLETED ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang