Chapter - 19

74 18 6
                                    

Nadara Rafeyfa Azzura Dirgantara ──────────────── Deraian air mata mengiringi setiap detik yang berlalu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Nadara Rafeyfa Azzura Dirgantara
────────────────
Deraian air mata mengiringi setiap detik yang berlalu. Menyaksikan raga lemah itu diutak-atik oleh pihak medis. Dipasangi berbagai selang untuk menopang kehidupannya. Ah, tidak! Maksudku memperlambat kematian dalam waktu dekat.

Aku menempelkan dahi pada jendela pembatas. Meninggalkan embun yang dalam hitungan detik jejaknya menghilang. Dari sisi kiri, isakan tangis terdengar tersedu-sedu. Seorang gadis cilik pemilik suara itu. Dia memanggil-manggil nama Langga disana.

Berkali-kali pula, pengasuhnya mencoba menenangkan hati kecil itu. Tak peduli seberapa keras bibi Lia memperdaya, Evelyn tidak menggubrisnya.

"Ssttt ... gadis manis, berhentilah menangisi Langga. Dia tidak membutuhkan buliran air matamu, saat ini Langga hanya mengharapkan doa darimu. Percayalah pada Tuhan, sesuatu yang buruk tidak akan terjadi," ujarku berusaha mengelabui ketakutan tersendiri dalam spekulasi.

"Kak Langga ... jangan tinggalin Eve ... hiks ... Kakak harus bangun lagi ... hiks ... Kak Langga ... ayo, bangun ... Eve mohon ...."

Jujur saja aku tertegun dengan tingkah Evelyn. Kedekatannya bersama Zayn membuahkan hasil yang tak main-main. Dia begitu histeris, tangan mungilnya memukul-mukul kaca jendela. Wajah imut itu seluruhnya basah dengan air mata.

Bukan hanya para gadis yang tampak risau melihat kemirisan pria itu. Jarsezasa pun merasakan hal yang sama. Mereka menundukkan kepala seraya menggumamkan doa. Bahkan, sesekali aku menangkap isakan halus dari salah satu mulut diantara mereka.

Bibi Lia menyerahkan Evelyn padaku saat seorang pria datang bersama daddy. Sementara aku dan Imelda mencoba menenangkan gadis ini, mereka—bibi Lia, daddy, dan paman Rafi—berbincang mengenai kondisi Zayn. Paman Rafi berkata bahwasanya keponakannya itu belakangan ini mengadukan rasa sakit yang teramat sangat pada seluruh bagian tubuhnya. Sesuatu seperti nyawa yang perlahan-lahan mulai menghilang.

Tidak! Aku tidak boleh terkesan lemah di hadapan Evelyn. Kuseka air mata dengan pelan lantas menengokkan kepala dan mendapati Imelda mengelus bahuku mencoba memberikan ketenangan.

Ketika pintu ruangan itu terbuka hingga memperlihatkan sosok dokter Willy dan beberapa perawat, kami segera mengalihkan perhatian. Jarsezasa bangkit dari duduknya, menghampiri dokter Willy dan memasang raut penuh harap. Aku juga, dalam hati aku terus memanjatkan doa berharap tidak ada hal buruk yang menimpa Zayn.

"Tidak ada harapan. Sel kankernya telah menggerogoti bagian otak. Kurasa kali ini kita benar-benar harus merelakan Zayn," cetusnya. Sontak saja mataku memanas menahan laju air mata.

Apa yang dikatakan dokter Willy benar-benar menohok hati. Sepuluh tahun silam perasaan ini pernah menimpaku. Rasa sakit ketika melihat mommy berjuang mati-matian demi bisa membebaskan diri dari jeratan kanker sialan itu. Kasusnya serupa seperti Zayn, stadium akhir hingga tak bisa diselamatkan.

Best Part [ COMPLETED ] Where stories live. Discover now