[]Part 26[]

318 44 3
                                    

Sebuah mobil putih ternama melaju melewati gerbang besi hitam nan tinggi. Mobil itu berhenti tepat di garasi. Segera setelahnya, pintu-pintu mobil tampak terbuka, memperlihatkan orang-orang yang keluar dari dalamnya.

"Aku duluan, Mom, Dad," ucap salah seorang diantara mereka.

Baru saja orang itu akan melangkah cepat, sebuah suara dari ibunya menghentikannya. "Kamu jangan ke kamar dulu, sayang. Ada yang mau Mommy sama Dady bicarain."

Gadis itu mengangguk, dan ia mulai berjalan menuju pintu utama. Membukanya dan segera memasuki rumah besarnya itu.

Dia melangkah menuju ruang keluarga, mendudukan dirinya di salah satu kursi yang ada disana.

Selang beberapa saat, orang tua dan adiknya segera menyusul.

"Rion, kamu ke kamar dulu yah. Tidur, udah malem," ucap ibu gadis itu seraya menurunkan anaknya dari gendongannya.

Erion mengangguk, bocah laki-laki itu segera berjalan menuju tangga dan pergi menuju kamarnya di lantai atas.

Sang ibu segera duduk di hadapan gadis itu, sedangkan ayahnya pergi menuju kamarnya.

"Ada apa, Mom?"

"Tunggu bentar, Dady lagi ngambil sesuatu dulu, Vi," balas ibunya.

Vivi mengangguk mengerti. Untuk beberapa saat mereka berdua terdiam dan terjebak dalam keheningan. Vivi hanya duduk tenang tanpa mau membuka lagi mulutnya, begitupun dengan ibunya, Mayang.

Beberapa menit menunggu, akhirnya sosok Xandro-- ayah Vivi-- mulai muncul dengan sebuah gulungan kertas yang tampak usang di tangan kananya.

Xandro mendudukan dirinya tepat di sebelah Mayang, dia kemudian memberikan kertas yang ia bawa pada wanita itu.

"Sayang, dengerin Mommy sama Dedy, yah. Jangan potong omongan kami dulu," ucap Mayang seraya menatap lurus ke arah putrinya dengan raut serius.

Vivi mengernyit, kenapa suasananya tak enak begini? Ia merasa heran dengan raut serius kedua orang tuanya. Yah, meskipun mereka berdua memang selalu serius, tapi ini tampaknya berbeda. Pembicaraan kali ini sepertinya sangat penting. Biasanya Vivi merasakan suasana seperti ini kala ia ada rapat darurat dengan organisasinya di sekolahnya.

"Iya, mom, aku gak akan potong," balas Vivi.

"Mommy tau, di jaman ini hal seperti ini udah asing banget. Tapi Mommy gak bisa apa-apa, sayang."

"Dady ngerti kamu gak akan suka hal kayak gini. Tapi Dady mohon ikutin ini yah, sayang?"

"Kenapa sih, Mom, Dad? Gausah berbelit-belit, langsung aja," ucap Vivi.

Mayang menghembuskan nafas beratnya. Dia kemudian menyodorkan kertas usang yang semula Xandro bawa dari kamar mereka.

Vivi menerima kertas itu, tanpa banyak bicara, Vivi segera membuka gulungan kertas itu. Membacanya dengan teliti dari atas hingga ke bawah.

Setelah selesai, tatapan mata Vivi mulai mengosong. Dia terdiam dengan mulut terkatup rapat. Perlahan, dia menyorot kedua orang tuanya bergantian. "Perjodohan?" tanyanya pelan.

Mayang mengangguk kecil. "Iya, sayang. Dulu waktu jenis kelamin kamu baru aja ketauan, orang tuanya Nathan langsung buat perjanjian yang kamu pegang itu," balas Mayang.

"Kenapa aku? Kenapa gak Reva aja?" tanya Vivi lagi. Ia masih tak percaya dengan apa yang ia baca barusan. Sebuah janji antar orang tua yang menyatakan jika anak mereka harus dijodohkan nantinya.

"Kamu juga tau kan kalau Reva yang paling kecil di antara kalian? Dulu, waktu mommy udah hamil kamu dan tau kamu perempuan, Kirana baru aja ketauan hamil. Jadi, belum ada kepastian kalau anaknya bakal cewe," jelas Mayang.

Vivi menghembuskan nafasnya, dia kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. Tanggannya ia gunakan untuk menutup matanya. Mencoba untuk lebih rileks. "Nathan tau soal ini?" tanyanya.

"Engga. Sejauh ini yang tau cuma kita, sama orang tua Nathan aja. Tapi mereka udah gak ada, jadi, yang tau cuma kita bertiga," jawab Xandro.

Vivi menyingkirkan tangannya dari pandangannya, dia kembali membuka matanya dan menatap kedua orang tuanya. "Kasih aku waktu, Mom, Dad. Dan aku mohon jangan kasih tau siapapun soal ini. Apalagi Nathan sama Reva," ujarnya.

"Iya, sayang. Kalau kamu udah setuju, bilang sama kami, biar acara pertunangannya bisa disiapin," tutur Mayang.

Vivi bangkit dari duduknya, menyimpan kertas usang itu di atas meja dan mulai berjalan pelan meninggalkan ruangan ini. Namun, sebelum ia semakin mejauh, ia mengucapkan sesuatu terlebih dahulu. "Setuju gak setuju, aku emang harus setuju, kan?"

=====

Nathan berjalan menuruni satu persatu anak tangga. Langkahnya ia arahkan menuju ruang keluarga. Ruangan favorit semua anggota keluarganya. Waktu sudah menunjukan tengah malam, namun ia sama sekali tak mengantuk. Maka dari itu ia memilih pergi ke ruang keluarga guna menonton tv. Di kamarnya memang tak difasilitasi oleh hal semacam itu. Bukannya tak mampu, hanya saja Mahes tak mau anak-anaknya terlalu nyaman berada di kamar, dan tak mau berkumpul bersama keluarga. Jadi, seperti inilah jadinya.

Saat sampai, Nathan sedikit tersentak saat ada seorang gadis yang tengah berbaring di atas sofa. Tv pun tampak menyala menampilkan sebuah film action, namun tak ada suara sama sekali. Rupanya gadis itu menonaktifkan volume tv dan malah fokus dengan ponsel di genggamannya.

Nathan berjalan menghampiri gadis itu, saat sudah dekat, pemuda itu segera merampas ponsel sang gadis dan membawanya ke kursi seberang gadis itu.

"Sialan! Kebiasaan banget sih, lo. Kalau mau pinjem yang sopan dong!" omel sang gadis dengan tampang kesalnya.

Nathan sama sekali tak terpengaruh, setelah duduk, pemuda itu mulai melihat-lihat apa yang dilakukan oleh gadis itu.

"Main Moy tengah malem. Apanih chat chatan sama om om luar negri?" tanya Nathan.

Sang gadis yang tak lain adalah Reva berdecak pelan. "Gausah pikir aneh-aneh! Gue cuma jailin si om om itu doang. Suruh siapa nyasar ke chat cewe kayak gue," ujarnya.

Nathan tak membalas, dia kemudian kembali membuka-buka isi hp dari Reva.

Ting!

Sebuah notifikasi whatsapp muncul dari ponsel Reva, dengan segera Nathan membuka pesan itu. Bibirnya tertarik ke atas kala membaca pesan itu. Menciptakan sebuah senyum jahil yang ia lemparkan ke arah Reva. "Lancar juga kalian. Besok gak berangkat sama gue nih?" ujarnya dibarengi dengan tangan yang melempar ponsel Reva ke arah gadis itu.

Reva melotot, dengan segera ia menangkap ponsel yang melayang ke arahnya. Nathan ini yah, bisa bisanya main lempar ponsel milik orang lain. Kalau pecah kan bisa bahaya.

"Yang sopan yah jadi orang," ujar Reva dengan tatapan sinis yang berikan ke arah Nathan.

Nathan menjulurkan lidahnya ke arah gadis itu, dia sama sekali tak membalas ucapan dari Reva.

"Remot mana remot? Gak enak banget nonton gak ada suaranya gini," ujar Nathan. Pandangannya ia edarkan ke seluruh penjuru ruangan.

"Buta lo? Di samping lo bego!" balas Reva menunjuk ke arah samping kanan Nathan. Tepatnya ke arah sebuah benda persegi panjang berwarna hitam dengan banyak tombol di atasnya.

"Maaf, mata seorang pangeran kadang tertutupi penghalang suci," ujar Nathan seraya mengambil remot TV dan segera membesarkan volume. Ia juga mengganti chanelnya.

"Pangeran badak kelas satu tepatnya," balas Reva dengan pandangan yang fokus pada ponselnya.

=====

Eyyow, miskah. Part 26, nih. Gimana gimana? Aneh kah? Atau gimana? Ah, dahlah, aku minta krisar sama votenya yah maniez. Muehehehe

----------TBC---------

HAMA [COMPLETED]Where stories live. Discover now