[]Part 39[]

322 41 2
                                    

Elvin menghentikan motornya tepat di depan sebuah gerbang besi putih seukuran setengah badannya. Merasakan seseorang di boncengannya telah turun dan berdiri di sebelahnya, Elvin segera melihat orang itu. Tangannya terangkat guna menerima sodoran helm yang diberikan padanya. Mengaitkan helm itu di tempat biasanya, setelahnya ia kembali memegang stang motornya. Bersiap untuk menjalankan motornya itu lagi.

"Makasih, yah, El, udah anterin aku. Maaf banget gak bisa terima ajakan kamu, janji deh besok aku jalan sama kamu. Tiati ada gorila di jalan, yah, El," ucap Reva alias orang yang dibonceng Elvin seraya merapikan rambutnya yang sedikit tak rapi akibat memakai helm.

Elvin menyunggingkan senyum kecilnya, dia mengangguk. "Iya gak papa, aku ngerti kamu khawatir sama Nathan. Masuk, gih," balasnya.

Reva mendelik mendengar balasan Elvin, gadis itu mengembungkan pipinya dan berujar. "Bukan khawatir, aku cuma, apa itu namanya? Ah, ya, ngerasa bersalah aja. Sebenernya males sih temuin itu orang satu."

Elvin lagi-lagi tersenyum kecil. "Iya aku percaya. Aku pergi kalau gitu, sampai nanti," ucapnya. Setelah diangguki Reva, Elvin segera melajukan motornya meninggalkan Reva di depan rumah Nathan.

Ini sudah kali ketiga Elvin mengantar gadis itu kesini. Mulai 3 hari yang lalu, sepulang sekolah, Reva selalu saja meminta Elvin untuk mengantarnya ke rumah Nathan. Alasannya karna kecelakaan ringan yang Nathan alami 4 hari lalu, hari saat Reva belajar di rumah pemuda itu. Awalnya luka Nathan tidaklah serius, namun karna tak diobati dengan baik lukanya bertambah parah. Luka di kaki pemuda itu memburuk, dan satu kakinya sulit untuk digerakan. Hal itu membuat Nathan tak berangkat sekolah, dan mengharuskan Reva mengunjunginya. Ah, yah, alasan Reva merasa bersalah, itu karna ia menduga luka Nathan memburuk karna Nathan mengantarnya pulang dan memaksakan kakinya.

Elvin mempercepat laju motornya saat perasaannya mulai bergemuruh tak enak. Meskipun ia tak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, namun entah keberanian dari mana, Elvin mulai menggila di jalanan. Pemuda itu menyalip beberapa pengendara lain, bahkan satu dua pengendara menyumpah serapahinya. Memilih tak peduli, Elvin tetap melanjutkan aksinya, melampiaskan perasaan ganjil yang mengganggunya pada jalanan.

=====

Reva membeku saat ia baru saja membuka pintu kamar Nathan dan langsung disuguhkan dengan pemandangan Vivi dan Nathan yang tengah berpelukan, ralat, sepertinya hanya Nathan yang memeluk Vivi.

"Re..."

Reva terlonjak saat suara Nathan terdengar memanggilnya. Dengan cepat gadis itu kembali menutup pintu, tak jadi memasuki kamar Nathan. Reva memilih terdiam dengan punggung yang bersandar pada pintu. "Eh? Kok? Kok malah keluar lagi sih?" gumam Reva pada dirinya sendiri.

"Eh? Eh? Tadi, tadi, tadi apa? Eh, Re, elo teh kunaon? Masuk? Iya, eh, emang harus masuk, kan?" gumam Reva lagi tak jelas. Entahlah kenapa, gadis itu seperti orang ling-lung yang baru saja kecopetan.

Tanpa mau membuang waktu lama lagi, Reva kembali membuka pintu. Kali ini gadis itu langsung masuk tanpa ada acara drama-drama mematung seperti sebelumnya. Dan lagi, Nathan dan Vivi juga sekarang sudah melerai pelukan mereka dan sama-sama menyorot ke arah pintu, tepat ke arah Reva yang sekarang berjalan masuk dengan cengiran garingnya.

"Keren banget gue nonton ftv secara langsung," ucap Reva seraya menaik turunkan kedua alisnya ke arah Vivi. "Ciee Pipi ciee, piwitt," lanjutnya.

Masih dengan godaannya, Reva berjalan mendekat ke arah Vivi. Saat gadis itu sudah benar-benar dekat, Reva menghentikan godaan recehannya, dia membulatkan matanya seraya memegang kedua bahu Vivi. "Vi, lo, lo abis nangis? Heh, kok? Ehh? Tunggu, lo kenapa?" tanyannya.

Vivi menggelengkan kepalanya seraya tersenyum, gadis itu melepaskan tangan Reva yang bertengker di pundaknya. "Engga kok. Kelilipan doang tadi," jawabnya.

HAMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang