[]Part 8[]

508 101 19
                                    

Alvaro meringis pelan saat punggungnya menghantam dinginnya lantai dengan cukup keras. Decakan pelan keluar setelahnya. Mata tajam pemuda itu menyorot Reva dengan intens, sebelum akhirnya bibir merah muda Alvaro tersungging sebelah. "Wow, tuan putri berani menolak pangerannya."

Reva sama sekali tak mendengarkan ucapan Alvaro barusan. Dengan jantung yang masih berdebar hebat, gadis itu berjalan kian dekat ke arah Alvaro yang terjatuh cukup jauh setelah ia dorong dengan sekuat tenaganya. Tangan kanannya yang gemetaran membawa sebuah lampu tidur yang sedari tadi tersimpan di sisi ranjang.

Alvaro sudah bangkit sekarang, matanya menatap lurus pada lampu yang Reva bawa. "Turunin lampu itu sekarang juga!" perintah Alvaro.

Reva tak memperdulikan perintah itu. Gadis itu tetap memegang lampunya. Wajah Reva tampak kusut sekali, namun seberusaha mungkin ia memberikan tatapan membunuhnya pada Alvaro.

Alvaro berusaha merebut lampu itu dari tangan Reva, namun tentu saja Reva tak membiarkan itu terjadi. Ia sudah bertekad akan melawan Alvaro, tak peduli ia akan dipenjara atau apalah itu. Yang terpenting ia bebas dulu dari sini.

Alvaro yang geram, mendorong Reva, membuat gadis itu mundur beberapa langkah. Tak hanya sampai disitu, Alvaro mulai mengcengkeram keras dagu Reva, mengangkatnya hingga Reva merasakan sedikit rasa sakit. "Denger, ya, turutin mau gue dan setelahnya lo bebas milikin gue. Lo mau itu kan?" ujar Alvaro.

Reva tak menjawab, tentu saja karena ia tak bisa bersuara dengan Alvaro yang masih mencengkram dagunya.

Alvaro mulai mendekatkan wajahnya ke arah Reva, membuat Reva dapat merasakan napas tak beraturan milik lelaki itu. "Ini untuk permulaan. Hm... pasti sangat manis," ujarnya.

Reva memejamkan matanya kuat, dengan segenap keberaniannya dia mengangkat tangan kanannya, memukulkan lampu tidur tepat di belakang kepala Alvaro.

Alvaro refleks mundur saat rasa sakit luar biasa menyerang kepala bagian belakangnya, ia mengerang keras dan tangannya bergerak menyentuh kepala belakangnya itu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi Reva segera mendorong Alvaro, menginjak betis pemuda itu dengan kuat agar menghambat jalan pemuda itu kalau-kalau Alvaro akan mengejarnya kala Reva lari.

Alvaro melolong kuat, rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, belum lagi betisnya yang terasa nyeri. "Bangsat lo!" hardik Alvaro.

Untuk perpisahan Reva menendang kaki pemuda itu, dan setelahnya ia berlari ke arah pintu. Membukanya dengan tak sabaran dan berlanjut lari menuruni anak tangga. Samar-samar Reva mendengar teriakan kesakitan Alvaro dan berbagai macam umpatan untuknya.

Kini Reva tengah ketar-ketir di hadapan pintu utama. Ia lupa kalau sebelumnya Alvaro sudah mengunci pintu ini.

Dengan dada yang naik turun, Reva mengedarkan pandangannya, mencari-cari sesuatu yang sekiranya bisa berguna untuk membantunya keluar dari rumah terkutuk ini.

Matanya terpaku pada jajaran guci berukuran sedang di pojok ruangan, dengan langkah lebar-lebar gadis itu mengambil guci itu. Membawanya dan dengan segenap jiwa bar-barnya ia melempar guci itu ke arah kaca jendela. Bunyi 'prangg', seketika menggema di telinga Reva saat kaca jendela dan guci itu pecah bersamaan.

Reva memperhatikan hasil kerjanya, kaca jendela itu sudah pecah dan lubangnya cukup untuk ia lewati.

Tanpa berlama-lama lagi, Reva mulai menaiki jendela itu, berusaha keluar walau kaki dan tangannya mendapatkan beberapa goresan dari kaca-kaca yang masih menempel pada jendela.

Reva mulai terisak lagi, ia menyempatkan diri menengok ke belakang, berharap sosok Alvaro sama sekali tak mengejarnya.

Dengan rasa perih di kaki dan tangannya, Reva kembali berlari meninggalkan pekarangan rumah Alvaro, membuka gerbang dengan tak sabaran dan kembali berlari menyusuri jalanan komplek yang sangat sepi.

HAMA [COMPLETED]Where stories live. Discover now