Part 21

17.4K 2.7K 799
                                    

Aku tidak membuka chapter ini dengan absen vote

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak membuka chapter ini dengan absen vote. Tapi yang mau absen silahkan ☺️, hanya ingin berpesan. Semoga kalian kuat hatinya untuk part ini, ya.











"Ibu benar-benar meninggalkan aku sendiri."

         Yungi mengerti jika kesiapan hati manusia itu tidak ada yang tahu, karena dunia sendiri tidak pernah memberikan peringatan atau bahkan melakukan absensi terlebih dulu. Mendengar penjelasan dari suster saja sudah nyaris merontokkan jantungnya, dan sekarang Yungi harus mendengar berita duka itu dari bibir Eunjo dengan kekosongan setengah mati.

         Dada Yungi sesak, sesak sekali sebab wajah Eunjo yang sedikit pucat pasi membuatnya semakin khawatir. Yungi meraih tangan Eunjo, menariknya pelan sebelum membawa pribadi itu tenggelam dalam pelukannya. Barangkali baru kali ini Yungi seakan berusaha memberikan pelukan terbaiknya, lingkaran lengan yang menguatkan, dan perlahan merasakan tubuh Eunjo yang dingin tenggelam di balik kehangatan suhu yang terpancar dari tubuhnya. Rapuh, Yungi bahkan tidak seberani itu untuk mendekap kelewat erat kendati ia sangat ingin melakukannya. Ia hanya takut semua ini mengguncang jiwa dan pikiran Eunjo lebih hebat dari ekspresi dingin yang terpancar. Yungi tidak mengatakan apapun—pada dasarnya ia belum bisa mengatakan apapun, dan Eunjo masih diam saja dalam dekapannya.

         Kedua mata Yungi menerawang langit, semburat jingga itu nampak beradu dengan warna semu yang seolah-olah merembes pada lembut dan putihnya awan. Ia mengelus-ngelus kepala sang istri, "Kau tidak sendiri," jeda Yungi, berharap awan tetap cerah dan tidak terlihat muram, "Kau tidak pernah sendiri."

         Bahkan perasaan Yungi turut campur aduk, kesedihan dan sendu itu menyerbak cepat pada raut wajahnya. Ia sampai tidak bisa membayangkan apa yang Eunjo rasakan. Ia ingin kesal, menyayangkan kenapa tidak membangunkannya. Tapi, menyadari seberapa dingin tubuh Eunjo, Yungi berpikir jika sang istri jelas tidak bisa memikirkan apapun, tidak memiliki satu detik sisa untuk menunggu selain langsung pergi ke sini. Yungi tahu jika Eunjo sangatlah menyayangi sang Ibu melebihi dirinya sendiri.

         "Ingin kembali ke dalam?"

         "Aku tidak ingin kembali ke dalam," jawab Eunjo dalam hitungan detik, dan Yungi kembali diam.

Eunjo merasa abu-abu. Warna yang ia anggap terburuk karena tidak memberikan kejelasan antara hitam dan putih.  Apa yang ia rasakan tidak bisa digambarkan secara rapi di atas kanvas, tidak dengan warna warni yang jelas. Napas yang masuk ke dalam paru-paru Eunjo tidak terasa segar seperti biasa. Ini seakan membawa batu-batu yang mengganjal, kepalanya pening. Pada dasarnya Eunjo masih bisa merasakan pipi yang menempel pada dada Yungi terasa hangat, belakang kepalanya terasa dielus-elus penuh afeksi. Tapi kenapa ia tidak bisa merasakan air mata memenuhi pupil dan pipinya? Apa yang salah? Hanya rasa sesak dan getir yang bisa Eunjo rasakan.

         "Kau tidak menggunakan alas kaki," kata Yungi, "Setidaknya—"

"Aku tetap tidak ingin ke dalam." Eunjo melepaskan pelukan Yungi, keduanya saling menatap lurus, "Dia sudah pergi," imbuhnya dengan tatapan kosong, kedua tangannya memeluk lengannya sendiri, "Memangnya mau diapakan lagi? Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan untuknya? Apalagi yang bisa aku lakukan untuk membuat Ibuku bahagia?" Eunjo menggeleng, kilatan matanya memiliki sedikit emosi tetapi Yungi tidak bisa memetakan apa maksudnya, "Tidak ada, Yung. Tidak ada."

Snowdrop ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang