[9/28] Aku belum Ingin Membunuhmu

16 6 0
                                    

/genre old west/ 

Sebuah persinggahan tempat minum yang berdiri sendirian diantara batas wilayah hampir selesai diburu oleh Leonard yang terkenal, ya terkenal. Bahkan wajahnya yang memiliki kumis tipis dengan wajah tirus memesona terpanajng di beberapa selebaran pengumuman tempat minum ini dengan tulisan Most Wanted. 

Buruan yang dimaksud Leonard disini adalah momen setelah dirinya berhasil menembak semua orang dan membiarkan jasad mereka tergeletak bermandikan darah. Kemudian,  tangan panjangnya dengan gesit mengambil semua harta benda yang ada. Ada yang membawa permata, berlian, beberapa koin, dan barang-barang tua bernilai tukar. 

Ia memasukan semua barang itu ke dalam karung dan memikulnya di punggung. Setelah selesai memanen, Leonard selalu mematik api dan menghanguskan semua jasad. Tapi baru saja ia memantik korek suara derit kayu lantai terdengar dari sudut tiang ruangan. 

"Kau yakin tidak mau lari? Aku sudah mau memantik api loh," ujar Leonard pada seseorang yang bersembunyi di sana. 

Suara perempuan yang terdengar lemah menjawab, "Aku tahu."

Leonard menutup pemantiknya dan mendekat ke sumber suara. Gadis mungil kisaran 20 tahun,  sepertinya lebih muda dari Leonard, terduduk di sana denga kulit pucat dan lebam di sekujur tubuh. 

"Aku hanya sedang berpikir lebih baik mati tertembak apa terbakar, tapi karena Tuan sudah di sini,  silakan tembak aku Tuan," ujarnya dengan suara lemah. 

Kening Leonard berkerut.  Walau kalimatnya terdengar putus ada,  tapi kedua sorot mata cokelat itu tegas menatapnya.  Mata putus asa tidak akan setegas itu menatap perampok dengan pistol dan pemantik.

"Kau beneran berpikir untuk mati, hah?" Leonard mengarahkan moncong pistolnya pada gadis itu. 

"Ya," jawabnya singkat.  Namun mata mereka yang bertemu seolah menyampaikan kalimat lanjutan, "aku sudah lelah."

Leonard menurunkan pistolnya. Ada perasaan asing yang masuk ke dalam kepala dan perasaannya.  Ia penasaran dengan hidup gadis di hadapannya.  Sekelam apa sampai dirinya seperti itu? Bukankah semua orang mati-matian ingin menyelamatkan diri sampai lari-larian dari hadapannya? 

"Aku belum ingin membunuhmu."

"Maaf Tuan,  aku tidak bisa berjalan jika kau menyuruhku ikut dengamu," sanggahnya. 

Leonard berjongkok di depan gadis itu. Ternyata telapak kakinya mengeluarkan darah.

Dari goresan lukanya ini ...

Iris cokelat Leonard segera menyisir sekitar dan mendaat pria jasad berbadan besar yang ada dibalik meja penyajian tergeletak dengan cambuk yang terpaut sedikit jauh dari sisinya. 

.. dia budak pemilik  tempat ini.

Setelahnya, Leonard meninggalkan gadis itu untuk meletakkan hasil buruannya di kuda dan kembali lagi. Kedua mata itu menatap Leonard heran. 

"Bukankah kau ingin membaka tempat ini?"

"Ya memang.  Tapi aku ingin membawamu." Setelahnya Leonard mengendong tubuh gadis itu yang bahkan lebih ringan dari hasil buruannya tadi ke atas kudanya dan memercik api.

Leonard mengikat topi koboinya dan memacu kuda. Mereka berkelana menembus gurun pasir dengan laju yang kencang. Meninggalkan tempat minum dan para jasad yang dilahap api membara di tengah gurun.

"Siapa namamu?" tanya Leonard memecah suara kontans separu kuda yang berpacu. 

"Irovenna, Tuan."

"Namamu bagus, dan ingat untuk memanggilku Leo saja." Tidak ada jawaban dari Irovenna. Leo meghela napas. "Pertama-tama ayo obati kakimu dulu."

"Terima kasih,  Leo."

Leornad sontak menghentikan laju kudanya.  Wajahnya terasa panas entah dari mana.  Apa aku tersengat panas gurun? Ngomong-ngomong sudah lama sekali ia tidak mendengar terima kasih dari orang lain. 

Dating with My MindWhere stories live. Discover now