[16/28] Bis Menuju Sekolah

8 2 0
                                    

Nadia tidak suka sekolah. 

Kalimat itu terngiang di kepalanya sendiri sepanjang perjalanan tiga puluh menit di Bus Tangerang Raya yang akan menghantarnya ke SMPN 3. Bibirnya tertekuk masam, ia meletakkan tas yang berisi buku cetak berat dengan sembarang di lantai ruang duduknya. 

Sekolahnya menyebalkan, guru yang tidak megajar, guru killer yang tidak jelas, teman-temanya yang rasis dan membully mata sipitnya, Nadia benar-benar tidak suka. Jika kedua orang tuanya memang kesulitan membiayainya masuk sekolah swasta tempat di mana teman-temannya berasa, bukankah lebih baik Nadia tidak sekolah? Dibandingkan harus menerima perlakuan rasis dan diasingkan di sekolah barunya untuk 6 bulan ini. 

"Apa aku bolos saja?" gumam Nadia seraya menatap keluar jendela. 

Jalanan basah dan lalu-lalang kendaraan yang ditatapnya membuatnya semakin hanyut dalam pikiran. Sampai tidak sadar bangku sebelahnya yang mulanya kosong kini diisi anak kecil yang memandangi seragamnya dengan mata berbinar.

"Kakak! Mau berangkat sekolah ya?" Suara riang yang penuh semangat itu membuat Nadia tersentak kaget. 

Nadia berpaling dan menatap anak kecil–mungkin 6 tahun dengan kaus bergambar kartun yang kusam duduk di sebelahnya–yang memandanginya penuh binar. 

"Hei! Lala kamu nggak boleh berteriak begitu sama kakak. Sana minta maaf." Seorang Ibu yang berdiri sambil menopang tumpukan kardus di punggungnya menegur. 

Binar di mata anak kecil itu segera hilang. Ia jadi muram dan berkata, "Maaf, Kakak." 

"Nggak apa." Nadia memaksakan senyum dengan kening berkerut bingung. "Iya, Kakak mau berangkat sekolah kok ini." 

"Wah! Serunya!" responnya spontan menaikan intonasi suara karena senang pertanyaannya dijawab. 

"Ssst!" tegur Ibunya cepat. "Aku benar-benar minta maaf ya, Kak," katanya setelah mengalihkan matanya pada Nadia. 

Nadia mengangguk kecil dan tersenyum. "Kamu ngomongnya jangan keras-keras, nanti diomeli lagi, lho." 

Anak itu menuduk sebagai pengganti kata 'iya.' 

"Tapi Kakak bersedia kok ngobrol sama kamu, jangan terlalu berisik tapi, ya?" Nadia menurunkan intonasi suaranya, seperti orang berbisik. 

"Hore," balas anak itu dengan bisikan seperti yang Nadia lakukan. "Kakak kalau di sekolah ngapain aja?" 

"Ngapain ya?" Nadia memutar kepalanya sejenak. Sebenarnya ia lebih banyak melamun, mengarang, dan menggambar, karena hampir sebagian besar kelas hanya jam kosong. "Kakak belajar dan juga bermain sama teman dan Ibu-Bapak Guru yang baik." 

"Woah. Keren. Aku juga mau sekolah nanti," jawabnya masih dengan intonasi pelan. 

Tapi, Nadia melihat sosok ibunya mendengar kalimat itu dan sedikit murung. Ah, aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat. Hatinya tiba-tiba terasa perih. 

"Nanti, ya?" balas Nadia agar tidak terlihat ganjil. 

"Iya! Kakak sekolah di mana? Nanti aku juga mau ke sana dan ketemu Kakak baik lagi," katanya dengan suara yang mulai kembali gaduh karena semangat. 

"Kakak sekolah di depan sana. Nanti Kakak turun, kamu lihat baik-baik, ya sekolah Kakak." Nadia mengusap kepala anak itu. "Kemudian Kakak bukan Kakak yang baik kalau tidak memberimu ini." Nadia merongoh kantungnya dan memberikan lima bungkus persediaan permennya. 

"Makasih, Kakak Baik!" serunya seraya mulai sibuk membuka permen. 

Laju Bus mulai berhenti perlahan. Nadia segera bangkit dari duduknya, karena sekolah benar-benar sudah di depan mata. "Dadah," salam Nadia sebelum memanggul tas dan keluar dari bus.

Ia sempat bertemu mata dengan Ibu dari anak itu dan mereka saling bertukar senyum. Nadia turun dari bis dan menoleh kepada anak itu yang melambai padanya seraya berusaha membaca nama sekolah yang tertera di samping pagar. Imut sekali anak itu. 

Bis yang berlalu, meninggalkan Nadia dengan perasaan ganjil. Hatinya seperti tergerak sesuatu setelah melihat anak manis itu begitu semangatnya ingin sekolah. 

Dating with My MindWhere stories live. Discover now