Bye

953 113 14
                                    

Alice POV

Aku menjelaskan semuanya pada Kak Lino apa yang terjadi denganku setahun belakangan ini. Sejujurnya hidupku sama sekali tidak ada yang menarik untuk diceritakan, karena aku banyak menghabiskan waktu untuk belajar dan mengurus Kak Lino saat itu. Tapi mau ‘tak mau aku ceritakan saja semuanya, termasuk hubunganku dengan pria bernama Umin.

Kak Lino terkekeh menanggapi seluruh ceritaku, terutama pada saat aku menceritakan bagaimana histerisnya aku hanya karena mimpi Kak Lino meninggal. Ah, harusnya aku tidak menceritakan cerita menyebalkan itu padanya.  Tapi, namanya juga mulut. Kadang suka susah buat di kondisikan.

Tapi, ternyata waktu 2 jam ku  berbincang dengannya tidak memberikan efek yang baik. Aku pikir semuanya selesai begitu saja.  Tapi, Kak Lino malah menunjukkan reaksi yang berbeda ketika aku menceritakan hubunganku dengan Umin.

“Bisa atur waktu untuk ketemu Umin?” Itu kalimat pertama yang ia ucapkan setelah merubah ekspresi wajahnya yang semula cerah menjadi datar.

“Mau ngapain?” tanyaku yang seharusnya tanpa dijawab pun aku  sudah tau tujuannya apa.

“Memastikan semuanya.” Kak  Lino sudah memalingkan wajahnya ke arah lain. Aku tahu ia sedang menyembunyikan wajahnya dariku.

“Memangnya penjelasan dari aku nggak cukup? Aku ‘kan udah bilang, aku sama Umin cuma teman Kak. Nggak lebih!” Aku mencoba menjelaskan semuanya. Aku sungguh  tidak ingin mengikutsertakan Umin ke dalam kesalahpahaman ini. Bagaimanapun aku sudah terlalu banyak merepotkannya selama ini.

Kak Lino menggeleng, kemudian beralih menatapku dengan tatapan dinginnya. “Bukan masalah itu.”

Aku menatapnya heran. “Jadi apa?”

Aku bisa mendengar jelas hembusan nafasnya sedetik sebelum ia berkata. “Aku mau berterimakasih ke dia, sekaligus memastikan kalau dia bisa relain kamu atau nggak.”

Aku mengernyit. Aku pikir Kak Lino tidak percaya  padaku, tetapi jawabannya tadi malah membuatku  semakin bingung. “Maksudnya?”

“Lice, aku laki-laki dan Umin juga. Aku tahu bagaimana sikap cowok ke cewek yang dia sukai. Kamu pikir sikap baik dia selama ini ke kamu cuma karena alasan pertemanan?”

Otakku berputar mencerna semuanya. Berbagai pernyataan tercipta jelas di otakku. “Bisa aja ‘kan? Nggak semua orang memiliki cara yang sama dalam bertindak Kak.”

Kak Lino tersenyum. “Harusnya kamu sadar sama yang kamu ucapkan barusan, Lice. Secara nggak langsung kamu juga membenarkan pernyataan ku. Sama kayak Umin, dia punya cara sendiri menunjukkan rasa sayangnya ke kamu. Kamu pikir siapa yang mau menjemput kamu tengah malam ketika pulang dari rumah sakit dan siapa yang rela nganter makanan ke kamu tiap malem hanya dengan alasan pertemanan? Pertemanan nggak ada yang seindah itu, Lice.”

Aku termenung mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Kak Lino yang  setelah ku pikir-pikir ada benarnya juga. “Tapi Kak ... aku nggak punya perasaan apa-apa ke dia kok.”

Kak Lino mengelus rambutku sembari tersenyum. “Aku tahu. Aku nggak ada nuduh kamu suka sama dia ‘kan? Aku cuma mau memastikan Umin rela melepas kamu. Bagaimana pun aku sadar, Lice. Umin sudah banyak memberi  warna di hari-hari kamu. Mungkin ... kalau aku belum  sadar dari koma, ia bakal nyatain perasaannya  ke kamu.”

Aku hanya bisa terdiam.

“Sekarang coba jujur sekali lagi tentang perasaan kamu ke aku, Lice. Aku sadar, aku nggak berhak memaksa kamu setelah aku ninggalin kamu selama setahun. Kalau kamu pilih Umin pun aku terima, aku pikir satu tahun sudah terlalu cukup untuk kalian saling mengenal bukan?”

Kak Lino || Lee Know✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang