10. Teka-Teki yang Sulit Kupecahkan

142 35 6
                                    

Tak ada yang salah dengan pertanyaanku kan?Janitra

D I A L O G     R A S A—

Dulu, teman-teman sekelasku mengeluh, susah memahami mata kuliah Kimia Fisika. Pernah dengar Termodinamika? Kalau tidak biar kuingatkan sedikit. Pernah dengar kalimat ini 'energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan, melainkan hanya bisa diubah bentuknya saja'. Pasti tak asing kan? Ya, itu hukum Termodinamika 1.

Siklus Carnot adalah materi yang membuatku dan teman-temanku pusing tujuh keliling. Bagaimana tak pusing, ada empat tahapan proses di dalamnya. Ekspansi isothermal reversible, ekspansi adiabatic reversible, kompresi isothermal reversible, kompresi adiabatic reversible. Aku nggak perlu menjelaskannya ya, kuyakin mendengar namanya saja sudah membuat pusing.

Kupikir, materi mata kuliahku sudah cukup rumit untuk dipahami. Nyatanya tidak demikian, ada yang lebih rumit. Tau nggak apa?

Perempuan.

Bagiku, perempuan adalah teka-teki yang sulit kupecahkan.

Sering kudengar teman sekelasku mengatakan bahwa kami, kaum Adam di kelas itu sangat tak peka.

"Janitra, please deh kok kamu nggak peka sih. Itu Ana udah bela-belain pakai lipstik loh," sahut Neesa waktu itu.

Aku nggak paham maksud Nessa, apa korelasinya lipstik dengan ketidakpekaan? Aku tak menemukan korelasinya.

Saat itu aku hanya berkata."Warna lipstikmu bagus, Na. Cocok untukmu"

Ya aku mau berkata apa lagi? Tapi kulihat pipi Ana memerah usai aku menyelesaikan kalimatku. Ya, kupikir saat itu Ana mengenakan perona di pipi yang entah tak kuketahui namanya, tapi aku sering melihat mahasiswi fakultas sebelah mengenakannya.

"Oke Janitra, not bad lah," ucapan Neesa yang terdengar seperti menyindirku.

Aku tidak paham. Mengapa mereka menyebutku tidak peka padahal aku memang tak tahu apa-apa.

"Perempuan itu bagai teka-teki yang susah dipecahkan, Ra. Mending mecahin soal Termodinamika, walau sulit tapi ada jawabannya. Kalau perempuan, belum tentu ada jawabannya," sahut Satria kala itu, sok bijak.

Perkara lipstik dan ketidakpekaan itu mengingatkanku pada situasi yang kini sedang kualami.

Aku kembali dihadapkan pada teka-teki yang susah dipecahkan. Shanice Violetta Sagara.

Semalam Shanice mereply status Whatsappku. Sebenarnya statusku biasa saja kok. Kukirim foto laptop dan segelas kopi tubruk sebagai teman begadangku dengan caption 'Toga, I'm coming."

Tidak ada yang aneh dalam postinganku kan?

Shasa mereply statusku, cukup untuk membuatku nyaris menumpahkan kopi tubrukku.

Shasa menjawab 'Sebentar lagi dapet Ijazah dan Ijabsah ya, kak.' aku melihat jawabannya di notifikasi pop-up Whatsappku. Beberapa detik kemudian, Shasa menghapus pesan tersebut.

Saat itu, aku ingin mengirimkan pesan padanya, menanyakan pesan apa yang dikirim padaku namun dengan terburu dihapusnya itu—ya walau aku sebenarnya sudah tahu isinya. Namun, kuurungkan niatku itu.

Aku dan Shasa tak sedekat itu untuk saling mengirim pesan ya walau akhir-akhir ini ada begitu banyak pertanyaan yang menggangguku—terutama tentang Shasa.

Aku bertemu dengan Shasa di kampus, tepatnya di laboratorium. Tapi Shasa seperti menghindar. Mungkin aku yang terlalu perasa.

Saat menuruni tangga menuju lantai satu, kulihat Shasa berdiri di selasar laboratorium, ia terlihat kesusahan membawa payung sambil menenteng buku. Niat awalku ke lantai satu adalah untuk ke toilet, karena toilet di lantai dua sangat ramai. Toilet di lantai satu berada di belakang tangga, harusnya aku berbelok bila ingin kesana. Namun langkah kakiku malah lurus, ke arah Selasar dan berhengi di belakang gadis berambut panjang itu. Shasa yang sedang berusaha membuka payung lipat, nampak kesusahan sambil memeluk bukunya.

"Mau kemana?" Pertanyaanku yang sebenarnya terkesan biasa saja membuat gadis itu kaget dan sedikit bergeser, nyaris menubruk seorang mahasiswa di samping kami yang tengah bersandar di jendela kaca gedung sambil sibuk dengan ponselnya.

"Kak Janitra." Matanya membulay, sebesar biji salak. Oke tak sebesar itu, aku hanya berlebihan.

"Kamu mau kemana hujan-hujan begini?"tanyaku sekali lagi. Saat hendak ke lantai satu, aku sempat berjumpa dengan teman-teman sekelasnya yang asyik leyeh-leyeh di depan lab Kimia Analitik, bersantai karena hujan membuat siapapun enggan pergi dan memilih diam di tempat.

"Mau mengembalikan buku,"ujarnya membuat pandanganku tertuju pada buku bersampul kuning yang berada di pelukannya.

"Kenapa bukunya nggak ditaruh di tas aja? Kamu kan kesusahan megang payung dan buku sekaligus gitu."

Shasa menggeleng. "Tasku udah penuh, kak."

"Yaudah sini kubantu." Kuulurkan tanganku ke arah tangan kanannya yang sedang menggenggam payung lipat merahnya.

Dia nampak ragu untuk beberapa detik, menyerahkan payung di tangannya padaku dengan raut khawatir.

"Aku nggak akan merusak payungmu. Tenang saja," ucapku setelah payung berpindah tangan.

"Bukan begitu..."

Aku tak mendengar lanjutan ucapan Shasa, terlalu fokus membuka payung lebar-lebar sambil melongokkan kepala ke atas, memeriksa apakah baik-baik saja menerobos hujan?

"Kak..."

"Ayo," sahutku memutus ucapannya yang hendak mengatakan sesuatu.

Shasa terdiam, dan baru bereaksi ketika aku berdiri di ujung Selasar, menunggunya.

"Ke fakultas ya, Kak. Aku harus ngasih buku ini ke Felisha," sahut Shasa saat ia menyusul dan berdiri di sampingku.

Aku tak mengucapkan apapun. Kami berjalan bersama ke arah gedung fakultas.

***

"Loh kak Janitra masih di sini?"

Pertanyaan Shasa membuatku yang sedang membaca papan pengumuman di dekat pintu gedung fakultas teralihkan. Ia sudah berdiri di sampingku setelah kurang lebih lima belas menit meninggalkanku untuk mengembalikan buku Kimia Analitik pada temannya, Felisha.

"Iya."

"Kakak nungguin aku?" tanyanya, matanya yang membulat dan bibirnya yang sedikit terbuka membuatnya terlihat lucu.

"Bukannya udah jelas?" Aku balik bertanya. Kupikir dia akan tahu setelah melihatku masih di fakultas, bukannya berada di laboratorium.

"Eh. H-harusnya nggak usah ditungguin," ucapnya sedikit mundur, menjaga jarak. Walau ia sedang berbicara padaku, tatapannya tak terfokus ke arahku.

"Ehm, Sha..." Aku menunjuk payung merah milik Shasa yang berada dekat pintu. "Kamu nyuruh aku ujan-ujanan?"

Kupikir ia tahu, alasanku menunggunya karena aku tak memiliki payung. Satu-satunya payung hanyalah milik Shasa. Tak mungkin dong aku ke laboratorium sendirian tanpa payung, yang ada kemejaku basah kuyup.

"Oh iya aku lupa, Kak," ucap Shasa menutup wajahnya karena malu.

Aku hanya terkekeh kemudian mengambil payung merah milik Shasa.

"Oh iya, Sha..." Aku yang hendak keluar dari loby mengurungkan niat, membuat Shasa menoleh, menatap penuh tanya.

"Kamu kemarin mereply status Whatsappku ya? Kenapa dihapus?" Akhirnya kuberanikan diri menanyakan langsung pada Shasa, daripada menerka-nerka dalam ketidakpastian lebih baik kutanyakan langsung.

Shasa membuka sedikit bibirnya, kulihat hendak menjawab tapi kemudian menutup kembali kedua bibirnya.

Tak ada yang salah dengan pertanyaanku kan?


BERSAMBUNG

DIALOG RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang