14. Gerimis Bersamamu

138 25 6
                                    


"Jadi kamu dan Shasa apa kabar, Ra?" Pertanyaan Jaya sore itu saat kami duduk bersantai di kursi yang berada di teras rumahku.

"Kalau aku baik, seperti yang kamu lihat. Sehat walafiat. Kalau Shasa sepertinya juga sehat."

Jaya meletakkan kembali gelas berisi teh hangat buatan ibuku kembali ke meja, tangan kanannya mengelus dada sambil mengucap kata 'sabar' berulang kali.

"Maksudku bukan itu Janitra..." Rahang Jaya mengeras, kentara sekali sedang menahan amarah agar tak meledak.

"Terus?" tanyaku.

"Kamu beneran jadi mau duta manusia tidak peka apa ya?"

Aku terkekeh menanggapi pertanyaan Jaya. Sebenarnya, aku cukup paham maksud ucapannya, aku tidak sebego itu kok.

"Memang kamu mau jawaban yang seperti apa sih, Jay?"

"Ya kelanjutan hubunganmu dengan Shasa sejauh apa."

"Yang jelas nggak sejauh jarak bumi ke matahari," candaku. Aku lalu menyeruput teh hangat buatan ibuku yang rasanya sungguh sedap, perpaduan antara gula dan daun teh yang diseduh dengan takaran yang pas menghasilkan rasa sepat dan manis yang berpadu secara seimbang.

Ya kalau ditanya sejauh apa hubunganku dengan Shasa, aku pun juga bingung. Senior-junior? Mungkin.

"Kalian masih belum jadian? Kamu masih betah pedekate?"

"Siapa yang sedang pedekate sih Jaya? Enggak lah."

"Nggak pedekate tapi tiap hari chat-chatan. Sungguh munafik engkau wahai anak manusia."

"Kami chat-chatan sebagian besar isinya tentang kimia, nggak ada yang spesial," sahutku tak berdusta. Memang benar sebagian besar pembahasan kami mengenai perkuliahan dan segala pernak-perniknya. "Aku hanya merasa nyambung aja ngobrol sama dia."

"Berawal dari nyambung ngobrol, lalu mulai merasa nyaman dan—" Jaya menatapku dengan wajah serius. "Pernah denger istilah witing tresno jalaran saka kulino kan?"

Aku paham betul yang diucapkan Jaya. Faktanya, aku tak hanya sering chat-chatan dengan Shasa tapi juga bertatap muka, dan semua punya alasan yang jelas yaitu Shasa minta diajarin materi perkuliahan yang tak dipahaminya.

Aku menggeleng, mencoba menepis segalanya.

"Ra, jujur aja. Kamu suka sama Shasa kan?"

"Enggak—" ucapku cepat. 

Mata Jaya terbelalak, terlihat kaget.

"Enggak salah," lanjutku akhirnya menatap ke arah jalanan depan rumah yang lengang akibat hujan deras yang sedari tadi mengguyur membuat para manusia enggan keluar.

***

"Balik yuk, Ra!" ajak Satria langsung mematikan laptop dan memberesi buku-buku yang digunakan sebagai referensi untuk mengerjakan skripsi.

"Kamu duluan aja, Sat. Nanggung nih tinggal dikit lagi."

"Apa mau kutunggu?"

"Nggak usah. Kamu balik duluan aja. Mendung juga."

"Yaudah deh kalau gitu. Aku duluan ya, Ra. Jangan rindu ye..."

"Astaga," celetukku mengelus dada mendengar kalimat terakhir Satria yang bermaksud candaan itu. Ya seperti itulah Satria.

Aku melanjutkan kegiatanku yang sedikit tertunda. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan sebelum pulang, ya setidaknya hatiku merasa lebih ringan saat perjalanan pulang nanti.

Sekitar lima belas menitan aku mengerjakan skripsiku. Ketika kurasa cukup, aku memutuskan menyudahinya bersamaan dengan sebuah chat yang masuk ke ponselku.

DIALOG RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang