07

2.1K 359 29
                                    

Rasa lapar Hazel tiba-tiba hilang begitu saja saat menatap wajah Velyn yang akhir-akhir ini selalu makan bersama mereka. Sebelum Velyn ada, meja makan besar ini hanya diisi olehnya dan Papanya. Lihatlah sekarang, Velyn juga berada di sini bak seorang nyonya. Dengan kekesalan yang sudah tidak bisa ditahan, Hazel membanting sendok dan garpunya hingga menimbulkan suara yang cukup keras dikeheningan malam ini.

"Hazel!" peringat Henry karena merasa apa yang telah dilakukan Hazel itu tidak sopan.

Hazel menatap berani pada Papanya. "Hazel nggak suka ada orang baru di sini," jujurnya sembari menatap wajah Velyn. Jari telunjuknya menunjuk wajah Velyn. "Sebenarnya lo siapa? Ngapain lo ikut makan di sini?"

Henry meneguk segelas air putih yang ada di dekatnya. "Apa yang salah, Hazel? Memang Velyn menganggu kamu?" tanya Henry melembut.

"Iya!" jawab Hazel tanpa ragu. "Bikin mata ngilu kalau liat wajah dia duduk di depan Hazel."

Henry menahan senyumnya. "Mata ngilu? Jangan aneh-aneh, makannya di lanjutin."

"Velyn siapanya Papa? Kenapa kayaknya dia spesial banget? Kalau pun dia cuma keponakannya Bi Ina, kenapa kita nggak pernah makan satu meja sama Bi Ina juga?"

"Hazel, Papa nggak suka kalau kamu bersikap kayak gini!" tegas Henry yang mulai kehilangan keinginan makannya.

"Salah Hazel apa? Hazel cuma tanya, Velyn siapa? Apa hal sesimpel menjawab pertanyaan bisa seribet itu buat Papa?"

Merasa akan ada keributan jika ia masih berada di sini membuat Velyn segera berdiri dari duduknya. Kedua tangannya memegang erat piring berisi makanan yang belum ia habiskan. "Biar aku makan di belakang aja, kamu nggak akan terganggu lagi," ucap Velyn pelan karena merasa tidak enak.

Setelah Velyn benar-benar pergi, Henry menghela napasnya. "Hazel, kamu nggak boleh gitu sama Velyn."

Hazel masih diam, sibuk mengaduk-aduk sayuran di atas piringnya. Hazel kesal, apa Papanya tidak mengerti bahwa Hazel cemburu? Hazel itu anak perempuan satu-satunya di rumah ini, selama beberapa tahun terakhir seluruh kasih sayang Papanya seolah diberikan pada Hazel hingga membuat Hazel merasa bahwa satu-satunya kesayangan Papanya hanya dirinya sendiri. Hazel merasa kehadiran Velyn bisa mengancam semuanya, entah hanya perasaannya saja atau memang benar begitu adanya, Hazel mulai merasa bahwa Papanya mulai memperlakukannya sama dengan Velyn. Bahkan Papanya tampak begitu peduli pada keponakan Bi Ina itu.

"Hazel, bisa dengerin Papa?" tanya Henry yang merasa diabaikan oleh putrinya.

"Bisa, Hazel diam bukan berarti telinga Hazel otomatis nggak bisa dengar apa-apa," jawabnya acuh.

"Velyn seumuran sama kamu dan mulai besok Velyn sekolah di tempat kamu," ucap Henry sembari melanjutkan makannya.

Mata Hazel melotot. "Papa nggak bercanda, kan?"

Henry menggeleng. "Memang Papa pernah bercanda?"

Hazel menghentakkan kakinya di bawah meja makan. "Hazel nggak mau, Hazel nggak suka kalau Papa kayak gini!"

"Sudah terlanjur Papa daftarkan, besok Velyn mulai sekolah. Habis makan tolong temenin Velyn beli perlengkapan sekolahnya," jawab Henry santai.

"Bener-bener udah gila," gumam Hazel pelan.

Henry menatap wajah putrinya itu. "Apa?"

Hazel menggaruk lengannya yang tidak gatal, bibirnya tersenyum manis agar Papanya tidak marah. "Hazel juga mau beli sesuatu, boleh?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Boleh," jawab Henry hingga membuat senyum Hazel semakin merekah. Mudah sekali membujuk Hazel, hanya dengan hal seperti ini akan membuat kekesalan gadis itu hilang.

HazelnathWhere stories live. Discover now