38

1.8K 318 295
                                    

Hazel mengeratkan cardigan rajut yang membalut tubuhnya. Suhu dalam ruangan ini cukup dingin bagi Hazel, mungkin juga ini disebabkan karena gadis itu hanya diam dan tidak membuka suaranya. Berbeda dengan kumpulan laki-laki di sekelilingnya yang tampak biasa-biasa saja, tentu karena mereka banyak bergerak. Berpindah duduk kesana kemari, mengobrol, bahkan tidak jarang tertawa puas sampai membuat tubuh mereka sedikit berkeringat. Intinya mereka semua melakukan suatu kesenangan yang biasa dilakukan remaja saat berkumpul, pengecualian untuk Hazel yang tampak tidak bisa berbaur karena memang ia satu-satunya perempuan di tempat ini.

Kini ia menatap Gwen yang tampak sibuk bermain game dengan teman laki-lakinya. Hazel tidak mau berbohong, sikap Gwen yang asli sedikit-sedikit bisa ia pahami. Mungkin bukan masalah besar bagi sebagian orang, tapi diacuhkan seperti ini membuat Hazel tidak nyaman. Gwen yang mengajak Hazel kesini, ikut berkumpul dengan teman-teman Gwen yang satu pun tidak Hazel kenali. Lalu sampai di tempat ini, Gwen malah mengacuhkan Hazel.

"Gwen, gue mau pulang."

Gwen tertawa dengan temannya, entah menertawakan apa dan sepertinya laki-laki itu tidak mendengar ucapan pelan Hazel. Daripada semakin lama berada di situasi seperti ini, Hazel berdiri dari duduknya kemudian berjalan mendekati tempat Gwen duduk. Tangannya menarik-narik lengan jaket yang digunakan Gwen. "Gue mau pulang."

"Sebentar, Hazel. Selesai ini gue anterin pulang," jawab Gwen yang masih belum mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya. "Mending lo duduk lagi disana, atau mau duduk di sini juga boleh."

"Gue mau pulang sekarang, bosen."

Gwen tetap menolak. "Sebentar lagi, tunggu gue menang."

Teman Gwen menyikut lengan laki-laki itu. "Anterin dulu," ucapnya terkesan mengusir Gwen.

"Nggak, tunggu lo kalah sekali lagi."

"Gue nggak akan kalah lagi," sahutnya penuh kepercayaan.

Gwen tersenyum tipis. "Kalau kalah lagi, cupu!"

Hazel membuang napasnya, Gwen benar-benar membuatnya kesal hari ini. Tanpa pamit pada Gwen, Hazel memilih keluar dari tempat itu. Lihat, bahkan Gwen sama sekali tidak sadar saat Hazel menyelinap keluar. Mungkin jika Hazel diculik, Gwen juga tidak akan sadar.

"Sialan!" Hazel menarik napasnya dalam-dalam, berusaha mengatur kekesalannya yang sudah menumpuk di ujung kepala.

"Terhitung cuma empat puluh delapan menit."

Hazel melotot di tempatnya. Elnath, sejak kapan laki-laki itu ada di sini? Hazel memperhatikan laki-laki yang berdiri di depannya, memastikan bahwa itu benar-benar Elnath. Siapa tahu rasa rindunya pada Elnath mampu membuatnya gila, berhalusinasi pada sebuah tiang yang ia anggap Elnath.

Hazel mengerjap-ngerjap saat Elnath menjetikkan jarinya di depan wajah. "Ngapain lo di sini?!" tanya Hazel setengah terkejut.

Mata Hazel memicing, jari telunjuknya sudah ia arahkan ke depan wajah Elnath. "Jangan-jangan, lo ngikutin gue?!" tuduhnya.

Elnath mengangguk sebagai jawaban. Hal itu justru membuat mata Hazel melotot untuk yang kedua kalinya. Ini benar-benar Elnath? Elnath tidak mungkin membuang-buang waktunya seperti ini. Sekarang bahkan Hazel takut jika Om Dimas akan memarahi Elnath sebab meninggalkan pekerjaannya. Iya Hazel akui, ia sedikit memikirkan masalah ini.

"Gue cuma mau lihat, seberapa lama lo bisa bertahan sama laki-laki itu."

Hazel tersenyum angkuh, seperti biasa ia bisa dengan cepat mengubah ekspresinya. "Berhari-hari bareng Gwen juga gue mampu," jawabnya yang tentu dengan sedikit bumbu melebih-lebihkan. Padahal nyatanya ia sudah tidak tahan lagi dengan semuanya, Gwen yang menyenangkan tiba-tiba hilang begitu saja.

HazelnathOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz