18

2.2K 423 773
                                    

Selama beberapa jam, Hazel menumpu dagunya dengan dua tangan sembari memperhatikan Elnath yang masih sibuk dengan bola basketnya. Untungnya ini bukan mimpi, Hazel bahkan tidak pernah membayangkan jika hari ini benar-benar terjadi. Kedua pipinya terasa begitu pegal karena tidak mampu berhenti menyunggingkan senyumnya. Mata Hazel terpejam rapat saat Elnath menatapnya dari tengah lapangan, bahkan dengan jarak sejauh itu jantung Hazel masih saja tidak terkendali saat ditatap oleh Elnath.

"Setan!" umpat Hazel refleks saat tiba-tiba saja Elnath sudah berada di hadapannya, bahkan saking terkejutnya membuat Hazel memundurkan tubuhnya hingga punggung gadis itu membentur tembok di belakangnya.

"Tadi bilang apa?" tanya Elnath dengan napasnya yang masih tersengal-sengal.

Hazel menggeleng. "Nggak bilang apa-apa."

Laki-laki dengan tubuh yang sudah basah oleh keringat itu duduk di sebelah Hazel. Tatapannya lurus ke depan, otaknya sedang memikirkan keputusan apa yang harus ia ambil setelah ini. Berbeda dengan Elnath, Hazel dibuat tidak berkedip karena Elnath terlihat berkali-kali lipat lebih tampan saat ini. Terlebih saat ujung rambut laki-laki itu meneteskan keringat, bagi beberapa orang lain mungkin terlihat menjijikkan tapi tidak bagi Hazel. Elnath selalu keren dalam kondisi ala pun.

"Haus nggak?" tanya Hazel pelan. Walau belum mendapat balasan, Hazel mengambil botol minum di dalam tas sekolahnya. "Minum!"

Elnath meraih botol air minum yang hanya terisi setengahnya. Dengan sekali gerakan Elnath membuka tutup botol dan mendekatkan bibir botol ke bibirnya sendiri.

"Jangan sampai nem—"

Air di dalam botol itu sudah lenyap tidak bersisa. "Pel," lanjut Hazel lesu.

"Kenapa?" tanya Elnath tidak mengerti.

"Itu bekas gue, lo nggak jijik?"

"Nggak," jawab Elnath santai.

Gadis yang katanya sombong itu mengulum senyumnya. "Kenapa nggak?"

"Ada rasanya." Elnath menjilat bibirnya sendiri yang masih basah kemudian tersenyum tipis. "Manis."

Darah Hazel seolah berhenti mengalir, tak lama kemudian perutnya seolah digelitiki oleh sesuatu. Pikiran gadis itu sudah jauh kemana-mana, hal itu justru memberi kesempatan besar bagi Elnath untuk mempermalukannya.

"Soalnya itu air gula."

Ekspresi wajah Hazel berubah detik itu juga. "Oh, gue juga tau," jawabnya kesal karena memang isi dari botol itu adalah air gula, Oma Zeeti yang memaksanya membawa botol yang ada di dalam kulkas.

Elnath tertawa kecil melihat kekesalan Hazel. "Nempel atau nggak juga sama aja."

Hazel menggembungkan pipinya, tatapannya kini jatuh pada pintu masuk lapangan indoor. Rasanya Hazel sangat ingin keluar dari sini dan segera menemui Freya, tapi ia harus menahan dirinya karena bel istirahat akan berbunyi sebentar lagi.

"Sekarang lo tinggal sama siapa?" tanya Elnath setelah keheningan di antara mereka.

Wajah Hazel berubah menjadi sendu. "Saudara. Freya udah ngasi tau semua orang, ya? Pantes orang-orang kelihatan makin nggak suka sama gue."

"Siapa yang nggak suka?" tanya Elnath tanpa melepaskan pandangannya pada Hazel.

Hazel menarik napasnya sebelum bercerita panjang. "Banyak banget. Dulu gue selalu dipuji-puji, nggak ada yang berani nyalahin gue. Tapi, akhir-akhir ini semuanya berubah, jauh beda sama yang dulu. Gue sering dihina, bahkan pernah dibully. Sara sama Regina aja kayaknya sebentar lagi nggak mau nemenin gue."

HazelnathOù les histoires vivent. Découvrez maintenant