25

2.1K 356 150
                                    

Sore ini Hazel duduk di teras rumah, matanya sibuk menatap anak-anak yang bermain bulutangkis di depan pagar rumah. Beberapa balita lainnya berlarian kemanapun kaki kecil mereka ingin melangkah, setelah lelah mereka akan mendekati Ibunya dan meminta disuapi lagi. Begitu seterusnya sampai nasi dalam piring itu habis dan mereka terlihat benar-benar menikmatinya.

Lengkungan tipis yang terbentuk dari bibir Hazel tidak menandakan gadis itu sepenuhnya senang, ada setitik sakit pada lubuk hatinya. Apa masa kecilnya sebahagia itu? Hazel tidak tahu, antara tidak ingat atau memang tidak sebahagia anak-anak itu. Yang Hazel ingat bukan disuapi oleh Mama, tapi makan sendiri asal ada mainan mahal di dekatnya. Lagi-lagi gadis itu merasa miris saat bukan dibesarkan oleh kasih sayang orang tua yang lengkap, tapi dibesarkan oleh harta.

"Awas kesambet," celetuk Gendis yang baru keluar dari rumah kemudian berjalan mendekati kebun kecil di halaman rumah Oma Zeeti.

"Anna mana?" tanya Hazel berbasa-basi.

Sejenak Gendis menghentikan kegiatannya, ditatapnya mata cantik Hazel selama beberapa saat. "Lagi belajar sihir."

"Sihir?" Kening Hazel mengerut bingung. "Dia penyihir?"

"Iya," jawab Gendis bersungguh-sungguh. "Mau belajar membekukan sesuatu sama Elsa."

"Nanti kalau udah jago, dia pasti bikin kerajaan es di sini," lanjutnya.

"Enak banget gosip sore-sore," sela Anna yang tiba-tiba saja duduk di sebelah kanan Hazel dengan semangkuk mie instan di tangannya, makanan wajib anak kosan.

Gendis tertawa pelan. "Hazel bodoh banget," hinanya karena merasa bahwa tadi Hazel hampir saja mempercayainya jika Anna tidak datang menyela percakapan mereka berdua.

"Itu nggak sehat," ucap Hazel sembari memperhatikan mie di tangan Anna.

Anna menyeruput mie kuah yang terasa benar-benar enak. "Bodo amat, yang penting enak."

"Emang iya enak?" tanya Hazel penasaran, sebab seumur hidupnya ia tidak sering memakan makanan itu. Mungkin pernah, tapi sudah lupa bagaimana rasanya. Papanya selalu berkata bahwa tidak boleh makan itu.

Gendis sekarang duduk di sebelah kiri Hazel. Dia juga membawa semangkuk mie instan. "Enak banget!"

"Heh! Lo nyuri cabe, ya?" teriak Anna saat menatap potongan cabe pada kuah mie milik gadis itu. "Gue aduin Oma!"

"Jangan!!" Gendis menghentikan pergerakan Anna yang hendak beranjak. Tanpa persetujuan Anna, Gendis memasukkan dua buah cabe ke dalam mie Anna. "Lo juga nyuri."

"Nggak! Hazel saksi. Iya, kan?" Anna mengguncang-guncang bahu Hazel seolah apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang benar-benar fatal.

"Diem! Mending lanjutin makan!" Hazel menginterupsi hingga membuat kedua gadis yang lebih dewasa darinya terdiam menuruti perkataan Hazel.

"Woi, gembel!" Hazel menggerak-gerakkan tangannya memerintahkan anak laki-laki yang dulu sempat menabrak kopernya untuk mendekat.

"Kenapa, Kak?" tanya anak itu pelan, berdiri sedikit berjarak dari Hazel karena takut jika sewaktu-waktu ia akan ditendang.

"Itu apa?" tanya Hazel sembari menunjuk air berwarna di dalam sebuah plastik yang dibawa anak itu. Sedari tadi Hazel memperhatikannya, apa itu es rasa seperti di sekolahnya tapi diletakkan dalam plastik?

"Es cekik," jawab Gendis.

"Cekik?" cicit Hazel pelan.

"Lihat aja dipegangnya dicekik gitu," celetuk Anna ikut-ikutan.

Hazel penasaran, gadis itu merogoh sakunya kemudian menyerahkan uang pecahan sepuluh ribu pada anak itu. "Beliin gue yang kayak gitu, cepet!"

Tanpa menunggu lama lagi, anak laki-laki itu berlari secepat kilat melaksanakan perintah Hazel. Lima menit kemudian anak laki-laki itu kembali membawa pesanan Hazel.

HazelnathWo Geschichten leben. Entdecke jetzt