1. Tidak Jelas

9.7K 1.9K 1.7K
                                    

Bagian Satu

Masuk kampus susah, keluar kampus jelas lebih susah—Tania, mahasiswi semester tujuh yang sudah selusin kali ditolak pengajuan judul skripsi.

Gimana lo gak bego, prinsip kuliah lo, yang penting absen gak bolong—Raksa, mahasiswa semester tujuh yang lulus paling pertama di angkatan dengan IP akhir 3,89.

-Taksa Rasa-

Oktober, 2021

"Berlin yang sidang, gue yang gugup," celoteh Tania sambil menatap pintu bertuliskan ruang sidang yang sejak tadi tertutup rapat. Sebelah tangannya memegang buket bunga yang cukup besar.

"Sama. Lebih-lebih gue aja," timpal Sari. Sama seperti Tania, perempuan itu juga sedang memegang buket bunga, bedanya ada selempang bertuliskan Berlin Soekotjo, S.Ked di pangkuannya. Sengaja tidak menulis nama panjang Berlin, bisa-bisa dua selempang kalau harus memakai nama panjang.

Tania menarik napas dalam.

Sari terlihat berdoa. "Semoga aja lulus. Yakin Berlin pasti bisa."

Tidak hanya mereka berdua saja yang berada di lobby Kedokteran Salemba tersebut, ada beberapa teman angkatan lain yang terlihat menunggu. Bagaimana tidak, hari ini adalah pecah telurnya angkatan 2018.

Netra Tania mendadak melirik seseorang yang baru saja keluar dari ruangan yang berbeda dengan Berlin, lelaki dengan kemeja putih dan celana dasar hitam itu berjalan sambil menenteng map. Baru saja dua langkah, teman-teman angkatannya yang tadi menunggu langsung menggerubungi lelaki itu.

"Gimana?" Sayup-sayup Tania dapat mendengar salah satu rekannya bertanya.

"Lulus!"

"WIDIH! Mantap, Raksa Mahendra, S.Ked. Gila-gila-gila, bukan tiga setengah tahun lagi ya lo lulus, tiga tahun dua bulan! Ajib!" seru lelaki yang memakai kemeja lengan pendek berwarna hitam. Dia adalah Surya, ketua angkatan Kedokteran Umum 2018.

Tania menarik napas dalam-dalam, hatinya mengumpat saat di hadapannya berbondong-bondong teman angkatannya memberi selamat kepada Raksa, iya! Lelaki itu adalah pemecah telur istilah lain dari mereka yang lulus duluan di angkatannya.

"Kenapa sih Berlin gak duluan aja dibanding tuh anak?" Tania menggerutu.

Sari menoleh pada Tania. "Mahen maksud lo?"

"Iya, Mahen," sahut Tania cepat. Dia memang kurang suka menyebut nama Raksa dengan Mahen, seperti panggilan orang-orang lain.

"Iya gimana gak duluan, dosen pembimbing aja cinta mati sama tuh anak. Bayangin, di saat kita sibuk mikir judul, dia malah ditawarin penelitian sama dosen pembimbing." Sari menimpal.

Tania berdecak. "Kan Berlin juga." Tania memutar pandangannya ke arah lain, tidak mau menatap Raksa yang kini sedang meladeni anak-anak angkatannya untuk berfoto. "Kenapa juga si Berlin harus penelitian bareng Raksa, seharusnya cari partner yang beda aja."

Sari terkekeh mendengar itu. "Lo masih dendam gara-gara kejadian semester empat dulu?"

"Gara-gara dia, gue ngulang lagi Sar di semester enam. Gila ya tuh anak, padahal gue kenal sama dia dari orok. Sejahat itu sama gue," omel Tania.

Jadi semester empat waktu itu, dia harus mengulang praktikum di semester dua yang nilainya D. Tania sudah berharap banyak bahwa di semester empat, nilainya bisa berubah. Dan semua gagal total karena Raksa adalah asisten praktikum saat itu, boro-boro ditolong. Nilainya cuma naik jadi C, mau tidak mau Tania mengambil lagi di semester enam. Dan semua itu ulah Raksa!

Taksa RasaWhere stories live. Discover now