Part_12 Minta izin

68 37 14
                                    

Kalo mau nyubit jangan ke perut sakit tau!" dengusnya sambil menatapku dari kaca spion motor.

"Iya maaf Kak, habis bawa motornya ngebut sih!" jawabku membela diri.
"Dan nyubit perut adalah jalan satu-satunya!" sambungku kembali seraya tersenyum.

"Yaudah iya, gua saranin deh kalo dibawa ngebut sama gua itu meluk bukan nyubit!" tegasnya terlihat Kak Alfin tersenyum dengan bibir tipisnya yang sedikit merah muda alami.

Aku menggelengkan kepala "Gak mau!"

"Kenapa?" tanya penasaran sambil membenarkan kaca spion motornya yang agar sedikit mengarah pada wajahku.

"Takut kena gigit!" tuturku.

"Gua, gak galak Alya!" ujarnya tetap fokus pada jalan raya.
Setelah itu kembali hening tidak ada kata-kata lagi.

"Mau galak atau enggak, kalo gak mau ya jangan dipaksakan!" elakku tersenyum miring.

"Gua gak maksa kok!"

"Mmmmmmm ... ya!" kataku singkat.

***
"Makasih Kak!" ucapku berlari meninggalkan Kak Alfin dihalaman rumah.

"Gak ngajak!" teriaknya.

"Engak!" jawabku sambil membuka satu persatu sepatu sekolah.

Terlihat Kak Alfin turun dari motornya, dan melangkah menghampiriku, dengan senyuman yang merekah di kedua sudut bibirnya.

"Kak mau ngapain sih!" celetusku ketika melihat Kak Alfin sedikit mendekati pintu masuk rumah.

"Mau ngelamar!" ucapnya asal.

"Aku masih kecil woiyyy ...!" teriakku dikuping kirinya.

"Kalo ada tamu itu ajak masuk Alya!" ucap Ibu menepuk bagian pundakku. Membuatku tersentak kaget.

"Eh Tante," ucap Kak Alfin sambil bersalaman dengannya.

Mataku menyipit kearah Kak Alfin.

"Kenapa Al?" rayunya menggoda.

"Gak!"

****

Entah akan berapa lama Kak Alfin berdiam diri dirumahku, dan sudah berapa kata yang keluar dari mulutnya itu, ketika meminta izin kepada Ibu agar aku harus dan sangat wajib menjadi wakil seminar se-provinsi. Ibu hanya manggut-manggut kepala, ketika laki-laki itu menjelaskan secara detail dan tersenyum pada Kak Alfin, berkesan sangat bijak sekali Kak Alfin dihadapan Ibu.

"Jadi gimana Tante? Menurutku ini adalah peluang besar buat pengalaman dan ilmu serta banyak manfaatnya banget, sayang kalo gak ikut serta!" jelasnya dengan kening yang sedikit berkerut kearah Ibu dan aku.

"Iya Tante setuju," timpal Ibu singkat padat dan sangat memuaskan bagi singa jantan dihadapan ku ini.

"Tapi aku gak mau!" tegasku dengan raut wajah kesal mengendikan kedua bahuku.

"Jangan gitu Alya, kamu sekolah harus punya prestasi biar gak sia-sia." Ibu kembali memandangku dengan tatapan penuh arti.

"Tante ... tanda tangan dulu di atas materai 6000, jadi kita deal ... maksudnya Tante menyetujui ini semua," kata Kak Alfin sambil menyodorkan kertas putih dengan catatan sebagai bukti.

Dengan lincah Ibu mentanda tangani surat itu. Aku menghela nafas kasar.

"Jadi kapan mulai belajarnya?" tanya Ibu antusias.

"Besok Tante, biar banyak persiapan kan lebih bagus," ujarnya sambil melipat kertas putih tadi dan memasukkannya kedalam tas.

"Bagus kalo begitu ... ouh ya, Ibu kedapur dulu mau lanjut memasak, Alya jangan sungkan-sungkan bertanya banyak sama Kak Alfin biar akrab dan banyak ilmu juga," jelas Ibu segera berdiri dari sofa dan berlenggang kearah dapur.

"Alya!" ucap Kak Alfin pelan suaranya seperti tertiup angin.

Aku hanya pura-pura tidak mendengar, dan memalingkan wajah ke luar rumah, sebuah benda panjang berisi tinta akhirnya melayang tepat pada tangan kananku. Mataku langsung membola. Pelakunya hanya satu Kak Alfin, karena duduk kita saling berseberangan dan sedikit jauh.

Ku lemparkan kembali benda berisi tinta itu, tepat pada perutnya.
"Apa?" tanyaku lemas. Rasanya tidak bergairah lagi untuk mengobrol dengan singa jantan ini.

"Mulai besok, gua jemput lu dan anterin lu pulang, biar kita belajar bareng buat persiapan seminar!" Dengan kedua alis yang dimainkan bersamaan.

"Enggak mau, apa kata orang nanti disekolah!" Dengan bibir yang meledek.

"Jangan dengerin, atau gua bilangin sama calon mamah mertua." Dengan senyum penuh kemenangan.

"Mamah mertua?"

"Iya mamah mertua adalah ibumu Alya!" Dengan gigi gereget nya.

"Iya deh terserah!" Aku pasrah jika tidak Kak Alfin bakal banyak cara membuat darahku mendidih.

"Bagus!" Dengan kedua ibu jari yang terangkat keatas.

Pemuda itu kini meraih segelas air putih yang tersedia di meja dan meneguknya.

"Gua ... pulang dulu ya Al!" ungkapnya setelah tugas membujuk dan meminta izin pada Ibuku selesai.

Aku bergeming, tidak menggubrisnya biarkan saja dia berceloteh panjang lebar sampai geram.

"Alya?"
"Budeg!" panggilannya kembali.

"Apa?"

"Giliran di panggil budeg aja dijawab!" tuturnya terkekeh.

"Nyenyenye!"

"Yaudah maaf, gua pulang dulu ya!" ungkapannya sambil berdiri dari sofa berwana coklat muda itu.

Aku berlenggang kearah dapur memberitahu Ibu kalo Kak Alfin akan segera pulang.

"Hati-hati ya!" ucap Ibu tersenyum, sambil menerima salaman darinya.

"Kamu gak salam?" tanya ibu ketika aku hanya melipat tangan diatas dada.

"Gak mau Bu!"

"Yaudah gapapa Tante!" timpal Kak Alfin tersenyum kearahku dan Ibu.

'Coba kalo Kak Alfin benar-benar baik dia pasti juga idaman kaya Kak Imam,' ucapku dalam hati.

"Ayo masuk ngelamun aja dari tadi!" ujar Ibu melambai-lambaikan tangannya tepat dekat dengan wajahku.

"Iya ... Ibu ... ayo ...!" ucapku sedikit gelagapan.

"Mikirin apa sih Al?" tanya Ibu penasaran.
"Pasti mikirin Kak Alfin ya?" lanjutnya menggoda.

"Ikhh apaansih Bu!" gertak ku menghalau Ibu agar tidak membahas Kak Alfin.

"Jangan bohong!" kembali Ibu menyelidiki, dan mendaratkan bokongnya di tepi rajang kamarku.
Entahlah Ibu seperti selalu membuntuti ku kemana aku pergi terkecuali kesekolah.

"Ibu aku gak suka sama Kak Alfin dia galak, jahil, nyebelin lagi!" tegasku melirik Ibu.

"Awalnya emang gitu benci dulu entar juga jadi cinta, benci adalah awal mula tumbuh cinta!" ungkapnya dengan pelipis mata yang sedikit berkerut.

"Ibu udah tua masa kenal sama cinta anak muda!" timpalku.

"Ibu juga pernah muda." Sambil mengecup keningku dan berlalu.

***
Bersambung
Kasih vote dan komentar yuk🤗🤸

ONLY_LOVE_YOU (Hiatus)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu