Part_14 Vedio call

53 21 1
                                    

"Bun ... bunda!" teriak Kak Alfin yang mondar-mandir seperti mencari sesuatu. Sementara aku hanya bergeming dikursi dekat meja belajarnya.

"Iya Fin kenapa?" Suaranya terdengar sangat jelas, Bunda Uswah kini berada di tangga menuju anak kesayangan itu.

"Bunda lihat handphoneku gak?" tanya dengan tangan sebelah mengaruk kepala kebingungan.

"Bukannya itu handphone kamu ya." Jari telunjuk Bunda Uswah menunjuk pada nakas kecil.

Buru-buru Kak Alfin mengambil. "Eh Iya," jawabnya tertawa.

"Katanya mau belajar kok  malah nanyain handphone?" tanya Bunda dengan kening yang berkerut.

"Ini Bun mau video call dulu Imam," ungkapnya tersenyum.

"Hah kak Imam?" Aku berucap setengah berteriak kebablasan.

"Kenapa?" Mata tajam itu melotot kearahku.

Segera aku membungkam mulut dengan kedua tangan.

"Kak ayo berjalan ... eh belajar," ujarku gelagapan.

Bunda Uswah merangkul pundak Kak Alfin menujuku. "Tuh cepat ajari Alya," katanya dengan lembut.

"Iya Bund ...." Matanya tetap melotot tajam kearahku. Sebegitunya Kak Alfin jika aku melakukan kesalahan.

"Bunda, kedapur dulu ya mau masak, 'ntar bunda ambilkan cemilan untuk kalian, semangat belajarnya," tuturnya ramah, dan berlalu meninggalkan aku dan Kak Alfin diruang belajar.

Serempak aku menganggukkan kepala dengan Kak Alfin.

"Yuk ... Kak belajar!" kembali aku berujar dengan tangan meremas kertas putih kuat. Ada rasa takut kena teguran dari Kak Alfin.

"Bentar gua vedio call Imam dulu, lu baca-baca buku ini!" Lalu menyerahkan dua tumpukan buku yang teramat tebal.

"Jangan ngeluh baca yang benar!" gertaknya saat melihat raut wajah lesuku.

Galaknya kumat lagi!

Aku membuka buku tentang ilmu kepemimpinan, sebuah deretan huruf kubaca satu persatu.

"Hay, Mam apakabar?"

Aku sedikit melirik ke arah Kak Alfin yang sudah menghubungkan vedio call dengan kak Imam.

"Lagi sama siapa lu Fin?" tanya kak Imam dari balik layar benda pipih tersebut.

"Ouh itu ... Alya!" Kak Alfin segera mengalihkan  camera belakang vedio call, dan mengarahkannya tepat di wajahku.

"Alya semangat!" Kak Imam berujar, tapi aku tidak melihat wajah manisnya itu.

Aku hanya menatap punggung handphone itu.  Lalu tersenyum, walaupun aku tidak menatapnya, tapi kak Imam pasti melihat gerak-gerik ku.

Benda pipih milik Kak Alfin kini, diletakkan di meja belajar. "Nah Alya kelihatan gak kak Imamnya!" tanyanya, sambil menggeser kursi belajar.

Merasa salah tingkah jika belajar namun melakukan vedio call dengan kak Imam, pipiku kini memanas mungkin sudah memerah jika orang lain melihatnya.

"Kita belajar bertiga, Alya, dengerin gua ... lu bakal belajar di bimbing sama gua dan Imam!" ujarnya terlihat  manik tajamnya sedikit berkerut.

Aku menelan salivina, tubuh seakan beku tidak percaya, mimpiku apa akan terwujud.

"Berarti tiap hari belajar bertiga?" tungkasku dengan wajah sedikit diangkat melihat Kak Alfin.

"Gak tiap hari, tapi seminggu sekali jika Imam ada waktu luang." selorohnya.

"Eh ... maksud gua gini, lu bakal belajar tiap hari, tapi kalo Imam ngajarnya seminggu sekali atau seminggu dua kali, bisa juga lebih," sambungnya dengan alis terangkat.
Aku sedikit lemas seketika mendengar ucapan Kak Alfin.

"Fin buka buku halaman 3 tentang percaya diri untuk pemimpin!" ucap kak Imam mengalihkan.

Buru-buru aku membuka halaman yang baru saja di sebutkan kak Imam, laki-laki yang merenggut perhatianku saat pertama masuk sekolah.
Aku kira kak Imam tidak akan peduli kembali dengan sekolah lamanya, ternyata dugaan ku salah.

"Ada gak?" Kak Alfin menyenggol bahuku, hampir saja tubuhku terhuyung jatuh dari kursi.

Kak Imam merenggut semua titik fokus ku saat membaca, aku merasa selalu di pandang olehnya walau kenyataan tidak, kak Imam sibuk membaca terlihat jelas dari vedio call itu.

Kini masing-masing sibuk membaca dan memahami isi buku tebal itu, hening hanya terdengar suara nafas masing-masing yang berhembus lembut.

"Lu ngerti tentang percaya dalam kepemimpinan gak?" celuk Kak Alfin tiba-tiba.

"Iya Kak," ujarku ramah, apa aku munafik selalu ramah jika ada Kak Imam atau Kak Alfin yang memperlihatikanku.

"Coba jelaskan menurut pendapat sendiri, kenapa dalam kepemimpinan harus punya sifat percaya diri!" ujarnya dengan menekan.

"Ya ... karena seorang pemimpin itu harus punya kepercayaan diri agar bisa membimbing, dan berani saat mengambil suatu keputusan!" jelasku lalu menyederkan kepala pada kursi belajar berwarna hitam. Mengurut pelipis mata dengan perlahan-lahan.

"Bagus, benar itu," timpal Kak Imam hanya ku dengar suaranya. Karena aku sedikit memejamkan kedua bola mata.
Kembali aku duduk seperti semula.

"Iya bener, gak sia-sia kita ajarin si Alya, sehari aja dia udah paham," Tangannya di lipat di depan dada angkuh.

Kak Alfin menumpukan buku tebalnya dengan sangat keras, hingga menimbulkan bunyi.

"Kenapa Al, kok kaya agak gugup gitu," tanyanya dengan dahi yang berkerut.

"Enggak kok Kak," tuturku sambil membereskan satu persatu buku catatan latihan hari ini, kedalam tas berwarna coklat muda.

"Gua ngerasa sikap lu berubah-ubah deh!" Tunjuknya.

Hah, justru aku merasa Kak Alfin yang selalu berubah-ubah.

"Fin belajar udah selesai sampai sini saja ya." Kak Imam berujar dibalik layar handphone.

"Iya, Mam see you next time!" Dengan tangan yang di lambaikan.

"Dah, Alya semangat," ucap Kak Imam sebelum menutup vedio callnya itu.

"Semangat kembali kak Imam," jawabku tersenyum dengan lembut.

Tiba-tiba seseorang merangkul pundakku, aku membalikkan badan, ternyata Bunda Uswah.

"Belajarnya udah selesai kan? Lihat Bunda bawa cemilan pasti kalian suka," ujarnya lalu meletakkan beberapa cemilan dalam toples.

"Iya Bunda belajarnya udah selesai kok, iya kan Al?" tutur Kak Alfin.

"Iya Bund," kataku singkat padat, tapi sangat jelas.

****
Bersambung
Jangan lupa tinggalkan jejak 🤗

ONLY_LOVE_YOU (Hiatus)Where stories live. Discover now