Valgus

2.4K 308 24
                                    

Pertama kali aku melihatnya, dia seperti lampu jalan yang menerangi gelap nya jalan yang kupijak. Setiap langkah yang ku ambil terus saja mendekat ke arah nya, hanya ada jalan lurus dan tentu saja mataku juga hanya tertuju pada cahaya putih itu.

Semakin dekat langkah yang ku ambil semakin terang pula cahaya yang menerangi, kedua sudut bibirku kembali terangkat setelah bertahun-tahun aku tidak menggerakkannya untuk tersenyum.

Mataku terasa cukup sakit saat cahaya itu lama-kelamaan semakin terang. Tapi aku sangat menyukainya. Menyukai bagaimana saat cahaya terang itu masuk ke dalam retina dan membuat kepala ku sedikit pusing.

Aku sangat menyukainya.

Tiba-tiba suara lembut terdengar di indera pendengaran ku yang sudah lama ku tutup rapat-rapat agar tak ada yang menggangguku. Diiringi nada piano yang tenang membuat langkahku memelan tetapi tetap melangkah mendekat.

Bayangan seseorang yang sedang menekan tuts piano di depan sana bagaikan tujuanku untuk tetap melangkah maju. Menghiraukan rasa pusing akibat cahaya yang terus bersinar terang seiring suara lembut itu bernyanyi.

Lagu yang tidak pernah ku dengar, lagu yang menenangkan bagaikan menghipnotis siapa saja yang mendengar agar terus mendekat. Lagu yang ingin ku dengar setiap saat, namun hilang sudah suara lembut dan juga suara piano.

Tepat di depan sana seseorang yang memunggungi ku berbalik. Tersenyum manis dengan flower crown di atas rambut hitamnya menyapa ku. Tubuhku terasa seperti tersengat listrik, senyum di bibir ku tunjukkan saat lelaki manis di depan ku melangkah mendekat.

Membawa flower crown lainnya digenggaman. Lalu memakaikan nya ke atas kepalaku dengan sedikit berjinjit karena tinggi kami yang berbeda.

Flower crown yang sama, terpasang cantik di atas kepala kami. Dia menggenggam tanganku, membawa nya untuk dicium lembut. Aku terpaku, ini benar-benar seperti seseorang kesayangan Tuhan sedang mencium kedua tanganku. Dengan baju putih dihiasi bunga di beberapa sisi, serta kalung dengan liontin bunga berkilau memperindah nya.

Jangan lupakan kulit putih yang halus yang membuatku berpikir seseorang di hadapanku ini adalah salah satu malaikat, hanya saja tidak memiliki sayap.

Aku senang, karena lelaki manis ini tidak akan terbang. Melainkan berjalan beriringan denganku.

Lelaki manis itu menuntunku, membawa ku melangkah maju mendekat ke sumber cahaya. Namun dengan langkah pelan, aku terus saja memandang wajah cantik dan manis di sampingku. Rasanya aku ingin melihat wajah itu setiap saat dan selamanya.

Ingin rasanya aku berhenti melangkah agar bisa memandangi wajahnya. Ingin rasanya terus digenggam seperti ini. Ingin, ingin sekali.

Namun sayang. Lelaki manis di sampingku ini menghentikan langkah dan juga melepas genggaman nya. Aku menatap heran, dan yang kudapati hanya senyum manis dan mata yang menyipit.

Bagai tersihir aku kembali tersenyum seolah membalas senyuman itu. Lelaki manis di samping ku berbisik, yang kalau tidak salah aku dengar dia membisikkan..

"Sampai jumpa, Jisung. Aku Chenle, kekasihmu."

Seketika semua nya menggelap. Tubuhku rasanya seperti tersengat listrik. Tubuhku seperti terguncang dan seperti ada yang meneriaki namaku.

Suara tangis samar-samar aku dengar. Mataku terbuka walau pandanganku tidak jelas, aku melihat seseorang memakai jas putih serta beberapa orang lainnya memakai seragam rumah sakit.

Kulihat seseorang menangis di dekapan lelaki yang memakai kemeja hitam di ujung ranjang. Menatapku sambil menahan tangis, kulihat matanya yang mengkilap karena air mata yang tak jatuh.

Kepalaku sakit. Ku pejamkan mataku menahan rasa sakit yang menyerang kepala, lalu sebuah tangan menggenggam tanganku.

Dia

Lelaki yang ku kenali tersenyum dengan air mata yang mengalir di pipi tirus nya. Mengelus punggung tanganku dengan ibu jari yang selalu dapat membuatku merasa tenang.

Dia kakakku.

"Jaemin hyung."

Lelaki manis itu menangis kala aku menyebut namanya dengan lirih. Dia memelukku dengan hati-hati dan mengecup kepala ku.

Aku tersenyum singkat. Sampai akhirnya Jaemin hyung berhenti menangis dan kembali tenang duduk di samping ranjang.

Dua lelaki lainnya yang rasanya aku kenal keluar bersama dengan dokter dan beberapa perawat, ingin memberi waktu berdua untuk aku dan kakakku. Karena sudah tidak ada lagi orang lain di ruangan ini, aku memutuskan membuka suara.

"Jaemin hyung.."

"Iya adikku." jawab Jaemin tersenyum dan terus mengelus punggung tanganku.

Aku menatapnya, mencoba meyakinkan diri sendiri untuk bertanya pada kakakku.

"Dimana Chenle?"

Wajah Jaemin hyung berubah. Mata itu kembali mengeluarkan air mata, membuatku khawatir.

Lalu Jaemin hyung menghembuskan nafas dan menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.

"Kau baru saja bangun dari koma, Jisung."

Iya, memangnya kenapa? Batin ku.

Bibir Jaemin hyung bergetar. Seolah tak mampu mengatakan sesuatu padaku. Aku terus saja menatap Jaemin hyung, menuntut jawaban darinya.

Namun, aku sungguh menyesal saat mendengar jawaban yang sama sekali tak aku inginkan.

Jaemin hyung bilang..

"Chenle sudah berada di samping Tuhan, tepat dua tahun yang lalu. Saat kamu dan Chenle mengalami kecelakaan di hari pernikahan kalian."

















-End-

Beneran deh ini kalau ceritanya gak jelas hujat aja gapapa, ini karena jari jempol gatel aja makanya pengen update..

Short Story [jichen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang