When I Was Your Man

1.3K 179 6
                                    


Sequel Lie

.
.

Rindu. Lagi-lagi kata itu keluar dari hatinya. Namun apa daya, kedekatannya dengan lelaki berkacamata itu sudah kandas lama sekali.

Alunan musik yang keluar dari earphone putih yang menyumpal telinganya sudah tak sama lagi, seperti saat ia dan Chenle dengarkan bersama.

Lagunya sudah tak ada warna bagi Jisung. Hanya kata-kata yang menari mengikuti nada.

Pun celotehan teman-temannya yang dia dengar, hanya kata per kata yang dia tangkap. Dirinya sudah tak ada lagi ketertarikan pada apapun.

Namun ketika sebuah nama yang disebutkan disela-sela ucapan, membuat Jisung mematikan musik. Memilih mendengar cerita dari temannya, dilihat seperti tidak peduli tapi hati dan telinga setia menunggu kelanjutannya.

"Iya, aku juga melihatnya kemarin."

"Padahal aku kira itu hanya salah lihat, tapi karna kau melihatnya juga berarti memang dia. Chenle dan lelaki dari sekolah lain."

Apakah mereka tidak mendengar? Baru saja mereka mematahkan hati Jisung.

Si pemilik hati bungkam. Saat kata-kata itu masuk ke dalam telinganya maka sudah dipastikan bahwa selanjutnya akan ada rasa sakit dari dalam dirinya, tepatnya di rongga dada.

Hatinya hancur saat mendengar nama itu, terlebih bersama lelaki lain? Ya Tuhan, hatinya benar-benar tercabik.

Setelah itu entah mengapa malas sekali ia melanjutkan acara mendengar cerita dari mulut temannya. Harap-harap bahwa temannya itu tidak lagi berceloteh tentang Chenle.

Namun, dunia memang tak ingin berpihak pada Jisung. Siluetnya menangkap lelaki itu yang tak jauh dari tempatnya. Membawa setumpuk kertas di pelukannya, rasanya ingin sekali ia menghampiri dan mengambil alih tumpukan kertas itu.

Berat hati memang hanya bisa memandang seseorang yang disukai dari jauh, mau bagaimana pun sepertinya memang ia sudah sangat jauh dari lelaki itu.

Kacamata yang sedikit turun itu menambah kesan lucu dimatanya, rambut hitam berponi panjang itu rasanya ingin sekali ia usak lembut.

Apalagi dengan cardigan sedikit kebesaran itu, dunia Jisung runtuh saat dia sadar bahwa sekarang dia hanyalah orang asing bagi Chenle.

Jisung benar-benar merindukan saat-saat dimana ia dan Chenle selalu bersama. Bahkan pulang sekolah mereka sering mampir ke penjual makanan pinggir jalan untuk sekedar mengisi perut dengan jajanan murah namun enak.

Masa dimana ia dan Chenle masih bisa bersapa dan melempar senyum, ia merindukannya.

'Chenle, aku tidak bahagia. Bisakah aku kembali padamu?' suara hati Jisung terus berteriak.

Meneriaki nama sang pujaan hati, setiap kali ia mendengar musik kesukaan Chenle, setiap kali ia bermain skateboard, setiap kali ia melihat Chenle.

Hatinya selalu meneriaki nama yang sama, berulang kali bahkan tiap detiknya Jisung bisa mendengar kerasnya nama Chenle diserukan oleh hatinya.

Lagi, kenyataan menyadarkan Jisung. Saat pulang sekolah, tepatnya saat ia berjalan di trotoar. Tak sengaja matanya melihat dua lelaki di depannya, jaraknya tidak terlalu jauh. Jisung masih bisa melihat jelas siapa orang itu.

Chenle.

Sang pujaan hatinya, di sana. Sedang bersama dengan lelaki lain, mengobrol dan tertawa bebas di bawah cerahnya langit sore.

Teringat kembali perkataan temannya, bahwa Chenle memang dekat dengan lelaki dari sekolah lain.

Ini buktinya, Jisung lihat dengan matanya sendiri. Chenle bersama dengan lelaki yang memakai seragam berbeda.

Dan lagi, kenapa harus ia melihat ini sekarang? Melihat jari kelingking mereka yang bertaut di balik tas putih lelaki itu.

Perpaduan jari mungil Chenle dengan jari lelaki itu sangat kontras. Harusnya jari Jisung lah yang bertaut dengan jari mungil itu.

Harusnya Jisung memberi Chenle bunga, sambil menggenggam tangan mungil itu.
Harusnya Jisung memberikan seluruh waktunya untuk Chenle.

Saat masih memiliki kesempatan, harusnya ia mengajak Chenle ke pesta karena Chenle pernah bercerita bahwa dia menyukai dansa saat mereka memakan ice cream di bawah sinar senja.

Sekarang Chenle berdansa, tertawa bahkan bercerita tapi dengan lelaki lain.

Harga diri, ego dan sifatnya membuat Chenle pergi meninggalkannya. Bukan, bukan Chenle yang meninggalkannya, tapi ia lah yang pergi meninggalkan Chenle dengan alasan 'Taruhannya Selesai'

Sekarang ia sadar bahwa ia tak akan pernah bisa memperbaiki kekacauan yang ia buat, yang menghantui setiap ia pejamkan mata.

Bodoh, bodoh untuk sadar di waktu yang salah.

Jisung harap, lelaki itu memberi Chenle bunga dan menggenggam tangan mungil itu dengan erat. Memberikan waktunya untuk Chenle, dan memiliki kesempatan untuk mengajak Chenle ke pesta, karena Chenle sangat suka berdansa.

Melakukan hal-hal yang semestinya ia lakukan saat masih menjadi kekasih Chenle.

Saat menjadi kekasihmu.






End

Short Story [jichen]Where stories live. Discover now