Before You Sleep

1.4K 189 3
                                    

Langit malam yang cerah menemani malam Chenle yang sepi. Lantunan musik yang menggema di ruangan menambah kesan hangat dan nyaman, juga secangkir teh hangat yang ada digenggamannya.

Cahaya temaram dari lampu tidur membuat ketenangan bagi jiwa Chenle, sesekali dia membenarkan letak bantal yang membatasi antara punggung dan dinding putih itu.

Matanya menatap kosong ke depan, raut wajah yang datar membuat sosoknya terlihat menyeramkan. Apalagi dengan sisa-sisa air mata di pipi dan di ujung matanya. Bahkan bulu matanya pun masih basah. Tanda bahwa dia belum lama menangis.

Tiba-tiba saja dia tersenyum, entah pada apa. Hanya tersenyum tanpa alasan, itupun hanya tiga detik, selanjutnya wajah datar lah yang menghiasi kembali.

Dalam heningnya, Chenle memejamkan mata membuat setetes air mata kembali jatuh karena sebelumnya air itu tergenang di matanya. Tapi dengan cepat dia hapus, mengusap pipinya dengan cepat, secepat seseorang meninggalkannya.

Alasan dibalik sikap Chenle, ada seseorang yang membuatnya seperti ini. Seseorang yang dia sebut sebagai kekasih, meninggalkannya. Jauh, tak tergapai.

Di malam yang indah saat itu, kilas balik tentang sedikit kisahnya bersama kekasihnya.  Tepat di sebuah bangunan putih dengan aroma obat-obatan. Dimana tempat itu adalah salah satu tempat yang selalu dia hindari.

Tepat saat jam menunjukkan pukul 10 malam,  Chenle duduk di samping ranjang rumah sakit, tempat kekasihnya berjuang untuk hidup. Dimana semua waktunya dia gunakan hanya untuk menemani kekasihnya.

Jisung, nama kekasih yang sangat Chenle cintai. Dia mencintainya lebih dari semesta, bahkan jika bisa, dia akan menciptakan semesta yang hanya ada dia dan kekasihnya di dalamnya.

Namun hal itu tak bisa tercapai, kekasihnya sudah tidak bisa lagi berada di semesta yang kejam ini. Chenle menjadi membenci semesta yang dia tinggali saat ini.

"Chenle.. " bisik Jisung ketika matanya terbuka, Chenle yang sedang menunduk sambil memainkan jemari Jisung mendongak cepat, menarik kursinya agar lebih dekat.

Di saat itu, Chenle tahu apa arti tatapan Jisung. Tatapan yang membuat hati Chenle begitu hancur, bahkan dia tidak memainkan jemari Jisung. Tangannya bergetar, bibirnya bahkan dia gigit untuk menahan tangis yang akan pecah.

Sebelum menjawab, Chenle berusaha meredam suara seraknya dan mengambil nafas dalam. Mencoba menjawab dengan suara yang terdengar lebih normal.

"Iya sayang, apa yang kamu inginkan?" gagal, suaranya bahkan lebih pecah dari yang dia bayangkan. Jisung hanya tersenyum kecil, sangat kecil karena setelah itu raut kesakitan lah yang dia tunjukkan, membuat Chenle harus menahan tangisnya lebih keras.

Diam. Chenle dengan sabar menunggu Jisung, menunggu kekasihnya yang ingin mengatakan sesuatu. Dengan lembut Chenle mengusap punggung tangan Jisung, mencoba memberitahu Jisung bahwa dia akan menunggu.

Dua menit kemudian, Jisung tersenyum kembali. Kali ini lebih lebar sampai matanya berbentuk bulan sabit, lalu membuka mulutnya. Walaupun tanpa suara yang jelas, Chenle tahu apa yang Jisung katakan.

Aku cinta kamu

Chenle berusaha dua kali lebih keras menahan tangis yang akan segera keluar, bahkan dia sampai tidak mengedipkan mata. Karena jika dia melakukan itu, air matanya akan benar-benar terjun bebas ke pipinya dengan deras.

Chenle mengangguk sambil tersenyum. "Aku juga mencintaimu."

Kali ini senyum Jisung sangat lebar, bahkan dia hampir tertawa kalau saja sakit tak dia rasakan setelahnya. Kemudian dia kembali membuka mulutnya. Kali ini ucapannya sedikit panjang. Membuat Chenle harus berpikir lebih lama.

Terima kasih telah menjadi kekasihku, kamu menjadi kekasihku sampai aku mati.

Setelah mengerti apa yang Jisung katakan, saat itu juga air matanya tumpah. Chenle tak bisa lagi menahan itu lebih lama, dia senang bahkan jauh lebih senang saat Jisung memintanya menjadi kekasihnya.

Kali ini Chenle mengecup kening Jisung, mengusap kepala Jisung dengan lembut. Kemudian dia kembali ke kursinya dan menatap Jisung dengan penuh cinta. Bahkan sekarang Jisung mengangkat tangannya dan sebisa mungkin menunjukkan cincin yang ada di jari manisnya.

Chenle dengan cepat mengangkat tangannya yang terdapat cincin yang sama seperti yang dikenakan Jisung, menyatukan mereka sambil tersenyum ke arah Jisung.

Jisung kembali memanggilnya, kali ini tangan mereka saling bertaut, menggenggam satu sama lain dengan erat. Takut akan sesuatu yang akan memisahkan mereka.

Aku mencintaimu lebih dari semesta ini, kamu semestaku, kamu rumahku.
Tapi... Aku harus pergi...
Jangan sedih, aku janji akan selalu mengawasimu.
Jangan lupakan aku, sayang...
Hah, aku lelah.. Bolehkah aku tidur?

Begitu, monitor jantung berbunyi nyaring. Tangis Chenle kembali pecah, dia membenamkan wajahnya di dada Jisung, mencoba menemukan detak jantung sang kekasih. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa Jisung masih di sana, bahwa Jisung masih bersamanya, bahwa Jisung masih menemaninya, namun tidak. Dia tidak pernah lagi menemukan detak jantung Jisung, dia tidak akan lagi melihat kelopak mata itu terbuka, dia tidak akan lagi melihat senyum itu, dia tidak akan lagi merasakan tangan Jisung yang mengelus kepalanya, tidak akan lagi.

Chenle menangis di atas dada Jisung, mencium dalam-dalam aroma terakhir Jisung,  memeluk erat-erat tubuh kaku Jisung, dan kemudian mencium bibir sang kekasih sambil terus menangis.

Chenle tak melepas ciuman itu, tangannya bahkan ikut tergerak untuk mengelus lembut kepala Jisung, hingga akhirnya dia melepas ciuman itu dan tertuduk kembali di kursi. Menunduk melihat ke arah jemari Jisung, tanpa ragu dia melepas cincin itu dan memakaikannya di jarinya.

Sambil terus menangis, Chenle mencium kedua cincin itu. Dalam hati berdoa, agar Jisung berada di sisinya kembali.

Tak lama, dokter dan para perawat memasuki ruangan. Perawat menggiring Chenle untuk menjauh dari Jisung, dan dokter pun mencoba untuk membuat Jisung kembali padanya. Namun, takdir berkata lain. Jisung memang harus benar-benar pergi darinya, dari semesta.

Dan setelah bertahun-tahun, Chenle masih merindukan kekasihnya, merindukan semestanya.

Berakhir dengan dia yang duduk termenung di atas ranjang, dengan selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Kemudian Chenle memejamkan mata, dan berucap lemah.

"Kamu tidur terlalu lama, Jisung... "






End

Short Story [jichen]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon