#8 : Benar di Dalam Salah

553 133 6
                                    

Hari Jum'at pertama Mahes berada di SMA, sungguhlah melelahkan. Siapa sangka, di pekan pertama pembelajaran aktif yang belum bisa disebut pekan ini akan diadakan apel pembukaan kegiatan pramuka wajib. Kedengerannya memang melelahkan sekaligus mempersulit diri, tapi Mahes cukup pasrah agar segala sesuatu yang tak diinginkan tidak terjadi.

Pukul empat belas, yang mana matahari sedang terik-teriknya, seluruh siswa kelas sepuluh berseragam penggalang dikumpulkan di lapangan untuk apel pembukaan. Namun, sebelum apel pembukaan dimulai, ada niatan pembentukan sangga baru untuk kegiatan penerimaan tamu ambalan oleh satu pemangku adat. Dewan ambalan lain setuju, peluit mengeluarkan suarnya dan permainan mencari anggota dimulai.

Setelah lima belas menit, sangga-sangga baru terbentuk dan membentuk barisan berbanjar. Masalah sangga baru teratasi, kini apel pembukaan di terik siang hari setelah berlari mencari anggota sendiri pun akhirnya dimulai dengan singkat sekali. Apel pembukaan hanya sekedar pradana masuk lapangan, laporan kepada pembina, amanat sejenak, dan selesai. Sesingkat itu.

Usai acara singkat itu selesai, dewan ambalan yang sebentar lagi purna tugasnya menepi. Acara selanjutnya diambil alih oleh calon dewan ambalan yang diisi dengan penyampaian informasi mengenai penerimaan tamu ambalan yang akan digelar dekat-dekat ini. Penyampaian informasi begitu ramah dari mulut calon dewan ambalan ini, rasanya begitu hebat menyulap teriknya siang menjadi mendung.

Detik demi detik pun berlalu, penyampaian informasi itu selesai dan apel penutup diadakan.

Mahes kembali ke kelasnya berdampingan dengan Yupi dan Rania. Setelah dua jam dijemur di lapangan, melepas topi boni dan sedikit mengendurkan hasduk rasanya sangatlah nikmat, ditambah kelas menjadi sepi sebab banyak siswa yang mengejar jam pulang.

Dengan cepat, Rania membereskan seluruh barang bawaannya dan mengemasnya lebih cepat dibandingkan siapapun. Barangnya pun rapi, kemudian ia menghampiri Mahes yang tengah kesulitan mengatupkan kedua kepala resleting tasnya. "Mahes, dah sepi nih? Apa nggak mau cerita kejadian semalem?" tanya Raina kemudian.

Sedikit dorongan kecil yang cukup berimbas membantu keadaan Mahes, tasnya pun sekarang bisa ditutup. "Kejadian apa, Ran?"

"Siaranlah, apa lagi coba?" tangkas Raina. "Cepat beri spoiler!"

🐸🐰

Keadaan markas milik Klub Fotografi bisa dibilang sudah layak huni nan pakai. Namun, kenyataannya keadaan seperti ini tak bisa mengubah apapun kecuali kesan pandangan anggotanya. Siang ini, kala apel penutupan kegiatan pramuka wajib dibubarkan, Melia kembali ke markas dengan kamera yang banyak menangkap dokumentasi acara. Niatnya melepas penat serta gerah yang melekat, tapi tak ada bedanya markas fotografi dan lapangan upacara saat ini.

Gadis itu meremas mukanya yang mungil, tak peduli seberapa kotor tangannya saat ini, cairan di mukanya saat ini benar-benar menumpuk ingin dibasmi. Tak lama, badannya ambruk menghantam lantai dan tepat di belakangnya ada dinding yang nyaman untuk dipakai bersandar.

"Panas banget anjir, anak pramuka pada nggak peka terhadap rangsang apa gimana sih?" racaunya dengan satu kali napas.

"Yah, abisnya mau-mau aja diajak dokumentasi. Dokumentasinya pramuka lagi." Sebuah balasan untuk racauannya mendadak datang, dari seseorang berpanggilan Hasbi, yang juga oknum penyebab lepasnya racau milik Melia.

"Kok ..."

"Apa? Kak kok kak kok? Minum nih daripada panas-panas gini ngoceh mulu."

Tampaknya, ada satu pertanyaan tidak penting yang ingin ditanyakan Melia. Tapi, Hasbi berhasil menangkalnya dengan sebuah air mineral yang tersisa setengah botol. Sejujurnya, ini bekas minumnya tadi di lapangan, agak kasihan kalau kejujuran ini dibeberkan kepada Melia, sebab amarahnya akan semakin menjadi, dan siang ini panasnya bisa melebihi Bekasi.

"Oh iya, Jendra mana? Biasanya dia semangat kalau dapet bagian milih foto dokumentasi."

"Lo mau tahu Jendra dimana?" tanya Sandi balik pada Melia yang mencari keberadaan ketua klubnya.

"Dimana San, nggak lo bunuh kan?" balas Melia kembali.

Jari telunjuk Sandi terangkat dan sebuah barang tampak kasat mata ia tunjuk agar seluruh manusia yang ada disana mengetahui keberadaannya. "Tuh," ucapnya.

Sesosok manusia yang keberadaannya sempat dicari oleh Melia sudah terpampang jelas terlihat damai terlelap di atas tumpukan kardus bongkaran. Sebuah pemandangan janggal bagi mereka semua, sebab tidak biasa-biasanya seorang Jendra bisa tidur siang, apalagi posisinya sedikit abnormal. Dagu Melia pun jatuh sambil berusaha menahan tawa semdirian.

"Amboi-amboi, enaknya tidur di atas kardus. Seperti simulasi jadi homeless," ledek Melia, masih dalam kondisi menahan tawanya. "Gimana ceritanya Jendra bisa tidur jam segini?"

"Kecapekan deh kayaknya, tadi malem dia nyasar sampe Mampang," balas Hasbi.

"Kok bisa, Bi?"

"Ya, bisalah. Gue nih saksi matanya."

"Terus?"

Hasbi memicingkan senyumnya. "Kepo kan? Ayo ke kantin, gue ceritain sambil minum es teh."

Melia menanggapi dengan buangan napas jengah, tapi dipikir-pikir es teh setelah dijemur diperbudak anggota pramuka enak juga. Tak sadar, gadis itu pun mengangguk mengiyakan ajakan sesat dari Hasbi.

"Pilihin dulu ini, fotonya. Terus kita kunci nih tempat, biarin aja si Jendra."

"Nah, sip."

🐸🐰

Anak kelas Mahes satu-persatu hilang disapu waktu pulang, namun seorang pemuda bernamakan Indra dari kelas yang berbeda diam-diam menorobos masuk ke dalam percakapan di antara tiga orang pemudi beranggotakan Mahes, Rania, dan Yupi. Pemuda itu hanya berniat hinggap mendengarkan sebuah cerita Mahes tentang pengalaman kemarin malamnya yang super duper pertama kali. Tak lama cerita pun diakhiri kala Indra sedang benar-benar menikmati.

"Bagus, sekarang testimoninya dong Hes," sela Indra dengan percaya dirinya.

Mahes langsung menggelengkan kepala. "Nggak dulu."

"Indra, masih aja berani nongol di depan Mahes. Kasihan kali, Mahes jadi terpaksa ikut siaran," tanggap Yupi.

Mengingat beberapa hari lalu, Indra lah yang menyebabkan Mahes bisa bergabung dengan Klub Penyiaran. Entah apa motifnya mendaftarkan anak orang sembarangan, tapi setidaknya, bagi Mahes, ada sebuah keberuntungan di sana.

"Nggak apa kok, Dra."

"Beneran, Hes? Jangan gitu dong, ngeri nih."

"Beneran, salahmu ternyata ada benernya juga. Aku jadi nggak perlu sengsara ikut Klub Fotografi."

"Beneran, Hes? Masih ngeri nih."

Suasana kelas sepi di lantai dua meninggalkan kesan tersendiri bagi Indra yang terlambat merasa bersalah pada Mahes. Menurutnya, ada sesuatu yang disembunyikan Mahes saat ini, entah apa itu, tapi hal itu tampak menyeramkan saat ini. Memang, tak ada yang berubah dari Mahes, kecuali nada bicaranya yang menurut Indra, kali ini agak menyeramkan.

"Indra, santet from Mahes will always hunt you," ujar Yupi dengan nada suara yang jatuh tepat pada telinga Indra. Sontak pemuda itu pun terkejut bukan main, tak ada lagi alasan untuk berdiam diri, kali ini Indra pergi dengan berlari meninggalkan kelas Mahes seorang diri. 

"Yupi, nggak usah nakut-nakutin Indra juga kali."

🐸🐰

hola para pembaca semua!! marilah kita lupakan sejenak status on-hold karya saya yang satu ini. mumpung draft sudah ready, jadi saya publish malam ini.

semoga suka 💚

Bidadari BarakarsaWhere stories live. Discover now