#11 : Jawaban untuk Kegelisahan

212 49 11
                                    

Sudah hampir tiga puluh menit, Jendra dihadapkan dengan opsi yang rumit ia selesaikan bersama Sandi. Jendra menatap monitor laptopnya sembari berteleku, ada sekitar empat puluh foto yang sudah ia sortir hingga enam foto teratas, kini ia dan Sandi perlu memilah lagi untuk mendapatkan dua foto terbaik. Foto-foto itu ditangkap kemarin pagi tatkala terminal sedang ramai-ramainya, menampilkan aksi pencopetan, pengemis, dan preman-preman yang sedang mangkal. Kata Jendra yang telah disepakati Sandi, itu cukup menggambarkan masalah kehidupan yang ada di Indonesia.

Masalah kehidupan yang ada di Indonesia, tema yang diusung dalam lomba yang dua minggu lalu disebarkan infonya oleh Jendra. Beruntungnya, proposal diterima sehingga seluruh dana pendaftaraan serta akomodasi dapat ditanggung sekolah. Tim yang mendaftar ada dua belas dengan anggota pertimnya bervariasi, ada yang tiga dan ada yang hanya dua. Jendra menjadi tim yang hanya berisikan dua orang, dirinya dan Sandi, sebab tiada lagi yang mau tergabung dalam grupnya.

Waktu pengumpulan foto yang akan jadi obyek penilaian terhitung hanya satu minggu setelah pendaftaran ditutup, dan malam ini akan menjadi menjadi malam terakhir pengumpulan. Jendra masih terus mencoba memilah foto-fotonya, meski kesabarannya setipis plastik mika, ia akan terus mencoba. Sedangkan Sandi, ia sudah menyerah dan berpasrah, menurutnya foto yang bersisakan enam itu sudah tidak bisa disortir kembali.

"Nyetel radio aja dah, Jen. Siapa tahu dapet inspirasi," ujar Sandi yang dari tadi ikut merasa bingung.

"Boleh deh, sekalian pesen makan. Mau apa?" balas Jendra dilanjut bertanya seraya meraih ponsel yang ada di samping laptopnya.

Setelah memperoleh izin dari pemilik kamar, Sandi pun menyalakan radio. Saluran yang dipilih tidak lain dan tidak bukan adalah Radio Barakarsa, sebab ia malas mencari saluran radio baru untuk didengar. Radio sudah menyala, kali ini yang didendangkan lagu Balada Insan Muda milik Diskoria, sepertinya hasil request dari pendengar. Sembari mendengarkan, Sandi memikirkan makanan apa yang cocok untuk lewat kerongkongannya malam ini.

"Nasi goreng aja dah, kambing," ujar Sandi menanggapi pertanyaan Jendra yang sudah berlalu.

Jendra mengangguk. "Okay, gue juga kambing deh," ujarnya. Seiringan dengan tarikan napasnya, jari gesit Jendra mengetuk menu pesanannya dilanjutkan dengan memasukan alamat rumahnya, agar makanan yang dipesannya bisa sampai ke rumahnya.

"Boleh request nggak?" decak Sandi tiba-tiba.

"Apa?"

"Anterin sampe depan kamar, di keterangannya tulis 'kamar Jendra'."

Jendra menepuk jidatnya dilanjut tarikan napas panjang. "Pintunya aja gue kunci."

"Yap, kembali lagi di 107.9 FM. Radio Barakarsa mengudara, bersama aku Penyiar Resapan. Malam Senin nih temen-temen, ngapain nih? Belajar? Kalau belajar jangan lupa kecilin volume radionya ya, nanti yang diinget bukannya materi, malah aku yang diinget hehehehe. Sambil nemenin kalian yang lagi belajar, aku mau nyuguhin cerita ajaib dari Sobat Bakar yang barusan terbang ke OA. Yap, ini sesi Cermin Ajaib alias cerita Minggu ajaib-"

Sandi mengernyitkan keningnya begitu lagu yang berdendang telah usai dan sapaan penyiar menyambangi. Baru disadarinya bahwa program tersebut bukan baru dimulai, tetapi tengah dimulai. Nyatanya sang penyiar menyatakan ia telah kembali dan siap menyuguhkan cerita-cerita yang telah diterima. "Yah kok udah mulai sih, gue kan juga mau ngirim cerita."

"Nanti kan ada kloter dua," balas Jendra.

"Oh iya bener."

"Emangnya lo mau ngirim cerita apaan?"

"Cerita lo sama Mahes yang berawal dari spanduk."

"Nggak ajaib."

"Ah, masa sih?" goda Sandi seraya menatap Jendra dan memainkan alisnya. "Orang lain mah ya, kalau udah kejadian sekali langsung selesai. Lah lo, malah ketemu terus sampe waktu hunting foto dua minggu lalu. Kurang ajaib apa coba?"

Bidadari BarakarsaWhere stories live. Discover now