#2 : Es Kuwut Minta Maaf

932 217 17
                                    

Mahes melepaskan ikatan mitela yang membalut es batu di lengan kanannya yang tadi dipasangkan Jendra, perlahan nyerinya hilang dan meninggalkan rasa dingin yang mencekat seluruh lengan kanannya. Suasana di UKS sangat sepi, dua temannya yang datang tadi kini sibuk bermain ponsel sendiri, ditambah pendingin ruangan yang udaranya berlarian seolah membuat tempat itu mengerikan di siang hari. Tiba-tiba suara datang dari pengeras suara, Yupi dan Indra yang sedang terpaku pada layar ponselnya sontak mendongakkan kepala.

Pengeras suara itu meninggalkan bunyi, ada manusia di baliknya yang hendak menyampaikan informasi. Berbagam informasi disampaikan, mulai dari pembubaran acara hari ini, persiapan pulang, dan pembagian sistem kelas yang baru dari yang semulanya berbentuk regu.

"Selanjutnya dari Regu Isaac Newton, ... Indrasatya Wiguna kelas 10 MIPA 5, ... Maheswari Febrianti kelas 10 MIPA 3, ... dan Yupi Nur Fadhila kelas MIPA 3."

"Maheswari Febrianti yang lahirnya bulan Februari, kita satu kelas lagi." Yupi berlari dari pojok, dengan senang ia menghampiri Mahes yang duduk di atas kasur. Gadis imut itu bersorak-sorai bahagia, tiada hentinya ia tersenyum dengan tangannya yang turut berbahagia mencubit pipi Mahes dengan gemasnya.

Mahes memberi senyuman cerah pada Yupi, kemudian dengan rasa kelewat bahagianya, gadis yang dilemparkan senyum itu memeluk Mahes dengan erat. Rasa gemas Yupi ke Mahes terus bertambah, dan itu berpengaruh pada tingkat kekencangan pelukan yang ia beri. "Udah Yup, lenganku jadi mulai sakit lagi," celetuk Mahes. Lantas Yupi melepaskan pelukannya.

Mandengar pengeras suara yang berada di UKS berbunyi, Mahes jadi teringat suatu benda yang juga bisa mengeluarkan suara. Radio. Ia mendadak teringat lagi sebuah informasi yang dibeberkan Indra tadi, tentang pemuda itu yang mendaftarkan namanya untuk menjadi penyiar di Radio Barakarsa. Berbagai macam keraguan hadir dalam benaknya, gadis itu belum pernah menjadi penyiar, mendengarkan radio pun jarang-jarang, bagaimana mungkin ia bisa asal mendaftar menjadi penyiar?

Segala pertanyaan pasti akan terjawab jika ditanyakan pada pemilik pikiran. "Indra." Yang merasa memiliki nama itu pun mendongak, merespon dengan, "Ya?" pada panggilan Mahes tadi.

"Kamu mau hapus namaku dari daftar penyiar?"

"Nggak bisa, pokoknya kamu harus jadi penyiar."

"Apa sih yang bikin kamu daftarin namaku?"

"Cara bicara kamu tuh asik, walau malu-malu, tapi kalau udah jadi penyiar radio pasti tambah asik. Tenang kok nanti ada upahnya ..."

"Sumpah ada upahnya, Dra?" tanya Yupi menyela. Indra hanya mengangguk.

"Kok kamu nggak daftarin aku sekalian?" tanya Yupi lagi.

"Kasihan nanti pendengarnya kalau kamu yang jadi penyiar," balas Indra

"Kenapa sih? Suaraku aman didengar kok, kan aku ikut paduan suara dari SD." Yupi memasang ekspresi kesalnya, bibir mengerurucut dan tangan bersedekap di depan dada.

Mahes memutar matanya lelah, kedua temannya ini memang tak pernah ditakdirkan berdamai apabila bersama. Kalau dipaksa bersama ya begini jadinya, Yupi mengumpan tapi ditangkap oleh Indra, tapi dikembalikan dengan cara keras, alhasil Yupi kesal. "Udah ah, ribut terus. Mending kita pulang aja!" ajak Mahes.

Mereka bertiga keluar dari UKS Putri, tak lupa mengembalikan lipatan sprei yang berantakan sebab diduduki oleh Mahes, mematikan lampu, mematikan pendingin ruangan, dan menutup pintu tanpa dikunci. Tiga manusia itu bertolak ke kelas yang dijadikan ruang singgah regu sementara, namun mulai besok mereka tak lagi ke sana karena kelasnya sudah berbeda. Indra jalan lebih dulu dibanding Mahes dan Yupi, sudah ditunggu kakak katanya, mereka maklum dan memutuskan menunggu jemputan di halte.

Bidadari BarakarsaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt