#7 : Mengantar Bidadari Pulang

642 164 6
                                    

Keadaan markas milik Klub Fotografi memang benar-benar serperti daerah yang baru saja diterpa siklon tropis dicampur taifun. Berantakan tak terarah, mustahil sekali bisa dibilang rapi, entah itu perempuan atau laki-laki sama saja tak bisa mengenal rapi. Hari Kamis sepulamg sekolah, Jendra beserta pasukan berniat mengevakuasi lahan bencana ini (dibaca: markas).

Ruangan berukuran setengah dari ruang kelas ini terlihat sekali tak pernah dibenahi. Tumpukan spanduk bekas tak terlipat rapi, plastik bekas jajan terganjal di pojokan, dan patahan kayu yang berserakan berpotensi untuk menyandungkan kaki. Itu bagian yang tak tertata, ternyata masih ada satu bagian yang tertata rapi. Yaitu bagian depan yang sering digunakan untuk menerima pengunjung.

Niat itu akhirnya bisa terkumpul, setelah pulang sekolah pukul setengah empat mereka membagi tugas evakuasi lahan. Evakuasi dilakukan, mulai dari merapikan spanduk, memungut sampah, dan memilah peralatan untuk dipisah tempat penyimpanannya. Setelah hal itu terlaksana, lantai siap disapu dan dipel oleh pasukan perempuan. Sedangkan yang laki-laki menunggu sambil merebahkan diri di koridor yang kebetulan sepi.

Setelah lantai yang dipel kering, semuanya berkumpul dalam ruangan yang tadinya mirip lahan bencana. Kini sudah lonnggar dan rapi, jadi bisa memuat manusia lebih dari dua puluh lima. Membersihkan ruangan seperti ini ternyata memakan waktu, surya menghilang dan para puan ikut pulang.

Tersisa para pemuda disana, belum berkeinginan pulang dengan alasan menggunakan ruangan yang barusan waras ini jadi tempat aliansi. Ditemani siaran radio yang disuarakan melalui pengeras suara di ruangan, para pemuda itu membagi jawaban tugas secara bergantian hingga tugas yang lainnya pun bisa tergarap tuntas. Bersamaan dengan selesainya siaran, tugas sekolah para pemuda itu juga lengkap.

Pukul sembilan, waktunya pulang. Tapi beberapa saat sebelum Jendra meninggalkan ruangan, ponselnya berdering menandakan seseorang memanggil.

"Halo Lia, kenapa? Ada yang ketinggalan?"

"Nggak Jen, tapi boleh minta tolong nggak?"

"Apaan?"

"Tolong anterin si Ayu pulang, barusan dia telepon gue tapi kan gue dah di rumah."

"Gila ya, gue nganterin pacar orang? Yang ada ntar gue diamuk lagi."

"Anterin aja dulu, pikiran ngamuknya entar."

"Iya dah ini gue anterin."

Setelah dipikir-pikir secara tiga kali oleh Jendra, kasihan juga kalau Ayu tidak diantar pulang. Walaupun agak malas mengantar ke rumah Ayu yang jauh sampai ke Grogol Utara, tapi daripada ia harus berdebat dengan Melia ya mau tidak mau ia harus mengantar pulang temannya itu.

"Gue cabut ya, bro." Jendra mengambil kunci motornya yang digantungkan di kaitan sabuknya, sambil memutar ia berjalan menuju luar ruangan.

"Yo, hati-hati Jen." Itu balasan temannya yang tersisa di dalam, padahal Jendra sudah keluar tapi balasannya baru terdengar.

Koridor sekolah lantai dua pukul sembilan rasanya sunyi, Jendra berjalan berhati-hati sambil bergidik ngeri. Ia terus mempercepat langkahnya, pemuda itu sebenarnya penakut dan masih saja percaya dengan hal mistis makhluk tak kasat mata. Tangga curam pun ia terjang terus, cahaya yang redup dan semilirnya angin membuat dirinya makin takut.

Sampailah pemuda itu di bawah, ruang guru yang terangnya melebihi segalanya. Gadis yang kata Melia harus diantar sudah disini dengan gadis yang ia kenal satu lagi. "Jendra," panggil Ayu dari jauh.

"Eh, Ay ayok pulang," ujar pemuda itu menghampiri Ayu.

"Bukan buat gue, tapi lo anterin Mahes aja. Kasihan nggak ada yang jemput, kalau ojol bahaya dah malam banget ini soalnya," jelas Ayu sembari menatap Jendra dan Mahes bergantian.

Bidadari BarakarsaWhere stories live. Discover now