#12 : Ikat Pinggang Maheswari

170 35 6
                                    

Seperti layaknya hari Senin pada pekan-pekan sebelumnya, upacara bendera dilaksanakan dengan peserta yang berseragam lengkap. Kelengkapan yang tidak terbatas pada pakaian, tetapi juga atribut pelengkap pakaian yang digunakan oleh peserta sepantasnya topi, dasi, dan ikat pinggang. Hanya saja, ketentuan atribut tersebut membuat Mahes mengawali paginya dengan panik tak tentu. Atribut yang dipakainya tidak lengkap, ia tidak memakai ikat pinggang.

Mahes tahu bahwasanya ikat pinggang juga termasuk atribut yang perlu ia kenakan, tetapi kejadiannya semalam membatasi dirinya untuk turut mengenakan ikat pinggang. Ikat pinggang Mahes menghilang dari semalam, sebenarnya bukan semalam, tapi Mahes baru menyadarinya tadi malam. Semalaman suntuk ia kerahkah waktunya, bahkan sampai pagi menjelang ia pun tetap mencari. Namun, ikat pinggangnya tak kunjung menampakkan keberadaan, Mahes menyerah.

Tidak ada harapan sama sekali. Mahes terpaksa berangkat sekolah dengan pinggang yang ia biarkan kosong.

"Mahes, ayo ke lapangan sebelum ramai." Yang diajak hanya menggeleng dilanjut tangan yang diisyaratkan akan menyusul nanti. Mahes tidak mau ikut upacara. Ia tidak bisa membayangkan tindakan menakutkan apa yang akan diterimanya di lapangan dengan kondisi rok tak berikat pinggang. Mungkin, bersembunyi di kelas adalah pilihan terbaik, pikirnya.

"Mahes!" pekik seseorang dari kejauhan disertai derap langkah bergegas menghampiri Mahes yang sebentar lagi masuk ke dalam kelas. Mahes membuang napasnya berat, terpaksa ia memberi atensi pada pekikan itu yang sekaligus menghentikannya masuk ke dalam kelas.

"Kok belum ke lapangan? Sebentar lagi upacaranya mulai," ujar Jendra, pemuda yang baru saja menghampiri Mahes.

Mahes tertunduk lesu, "Aku nggak pake sabuk, Kak. Aku takut kalau ikut upacara."

Jendra seketika mengendurkan ikat pinggangnya kemudian melepas dan memberikannya pada Mahes. "Pake punya saya dulu nih," ujarnya menyerahkan.

"Eh jangan, Kak. Nanti Kak Jendra gimana?" balas Mahes cepat.

Jendra terkekeh pelan, sedang Mahes kebingungan. Di balik itu, Mahes berusaha memutar otaknya. Kesempatan emas ini tak akan terulang kembali.

"Tenang, kali ini saya kebagian dokumentasi. Nggak ikut upacara. Ini mau ke markas ambil kamera," terang Jendra.

Panggilan untuk turun ke lapangan telah tiba, tak ada lagi waktu yang bisa Mahes gunakan untuk memikirkan omongan Jendra atau pun nasib ke depannya. Sesegera mungkin, Mahes meraih ikat pinggang milik Jendra. "Makasih, Kak."

"Iya, cepetan ya ke lapangan."

Mahes mengangguk diikuti langkah kepergiannya menuju lapangan, meninggalkan Jendra sendirian yang katanya hendak ke markas mengambil kamera.

🐸🐰

Usai Pak Yugi-guru biologi-menutup kelas dengan tugas rangkuman, bel tanda istirahat pertama berbunyi. Beliau langsung keluar kelas dengan menyangga laptop yang masih menyala di tangannya, sedangkan Jendra sesegera mungkin memindah buku biologinya ke dalam tas. Mejanya kosong sekarang, sudah terasa nikmat untuk menjadi tadah kepala selagi menunggu mata pelajaran selanjutnya sembari memejamkan mata.

Namun, rencananya tidak berjalan mulus. Baru saja Jendra ingin memejamkan matanya, seseorang dari kelas memanggil namanya.

"Jendra, ada yang nyari nih."

Jendra menghela napasnya dan segera membenarkan posisi duduknya. "Siapa?" tanyanya disambung menguap dengan mata yang dipaksa terbuka.

"Maheswari."

Mendengar nama seseorang yang dikenalnya tersebutkan, mata Jendra yang semulanya dibuka secara paksa, kini tebuka sepenuhnya, seluruh rasa kantuknya seolah-olah hilang secara tiba-tiba. Tak perlu menunggu lama, Jendra berdiri dari bangkunya dan berjalan menuju pintu kelasnya. Benar, ada Maheswari yang datang menghampiri.

Bidadari BarakarsaWhere stories live. Discover now