#4 : Pesan yang Disembunyikan

675 173 12
                                    

Malam menuju Kamis di kamar, pemuda bernama Jendra itu tampak gusar di depan monitor laptopnya. Sebuah surat undangan perlombaan tentang potret memotret yang dikirimkan melalui e-mail terpampang dengan jelas. Di dalamnya berkata, lomba itu diadakan tingkat provinsi, untuk jenjang SMA sederajat, juga hadiah utama kamera digital single lens yang lumayan untuk inventaris tambahan.

Tapi, permasalahannya yang membuat Jendra gusar adalah bentuk suratnya yang masih berbentuk file. SMA Barakarsa mungkin hanya SMA swasta yang dipandang sebelah mata oleh orang awam, tapi jika mengenai sistem perlombaan, Barakarsa cukup menyulitkan. Jika ada yang mengikuti lomba bukan dari rekomendasi sekolah, siswa yang bersangkutan harus mengajukan diri dengan bukti surat undangan berbentuk fisik kepada badan kesiswaan. Belum lagi resiko ditolak apabila tak memenuhi kriteria perlombaan dari sekolah.

"Mau lomba aja ribet, padahal lumayan banget hadiah utamanya," ucap Jendra seraya mengacak-ngacak rambutnya sendiri dengan kesal.

"Ikut yang lain aja, Jen. Kita baru naik kelas 11, waktu masih panjang," balas Juna yang menumpang mengerjakan tugas fisika di kasur Jendra.

"Theater, terakhir ikut lomba dari luar kapan?" tanya Jendra kemudian.

"Entah, gue lupa. Coba tanya Norman," jawab Juna.

Norman yang sedang duduk di sofa sembari memainkan gitar milik pemilik kamar itu menghentikkan jarinya untuk memetik sebentar. "Kapan ya? Sekitar Februari kayaknya. Tapi beruntungnya suratnya udah fisik."

"Aelah enak amat," respon Jendra kemudian. "Sandi jadi ke sini kagak?"

"Jadi, gue bilangin aja kalau lo dah beli nasi Padang lima bungkus, dateng pasti tu anak," jawab Norman. Jendra hanya mengangguk paham, mood-nya sedang buruk untuk berbicara lebih banyak hanya karena surat bentukan file yang diterimanya tadi. Sebagai usaha peluruhan mood buruk, pemuda itu menutup laptopnya dan mulai menyalakan radio.

🎶 Tapi menurut aku, kamu cemerlang. Mampu melahirkan bintang-bintang. Menurutku ini juga karena lembutnya sikapmu, serta sabarmu yang nomor satu. Tuk petualangan ini mari kita ketuk pintu yang samaㅡ

Tok.

Tok.

Bertepatan dengan syair lagu yang didendangkan radio, pintu kamar Jendra pun terketuk sebanyak dua kali. Semua yang ada di dalam bisa mendengar dengan jelas, tapi karena manusia yang mengetuknya sudah bisa ditebak, mereka enggan merespon dan tetap sibuk pada kegiatannya masing-masing.

Manusia dibalik pintu itu mengetuk lagi, tetap saja tak ada yang mau menanggapi. Akhirnya ia memutar kenop, pintu terbuka dan manusianya nampak nyata adanya. "Assalamualaikum, wahai pemuda yang menanti belahan hati. Di sini hamba, seorang Sandi yang baik hati ..."

"Bodo amat, San. Itu dialognya kakek tua di theater waktu gue sama Norman rebutan clip on," balas Juna dengan mata berputar pada porosnya. Sandi, pemuda yang baru saja membuka pintu itu langsung meraih tempat kosong di sofa sebelah Norman yang sibuk menyetel gitar milik Jendra.

"Jadi inget kan gue, lo berdua ngapain rebutan clip on waktu itu?" tanya Sandi.

Norman meletakkan gitar Jendra, ia membalik arahnya menatap Sandi dengan mata sedikit memeriksa keadaan Juna. "Clip on punya Juna talinya panjang, lah dia kan pendek ngapain pake yang panjang. Lah gue yang tinggi begini malah pendek talinya," jelasnya pada Sandi.

"Terus kalian ribut, tengkar?" tanya Sandi.

"Iya," jawab Norman dan Juna bersamaan dengan malas-malasan.

"Terus si Jendra lewat?" tanya Sandi lagi.

"Iya."

"Ngapain sih lo pake lewat waktu itu, Jen?" Juna dengan muka geram, memelototkan mata tapi gagal besar, melemparkan kalimat tanya pada Jendra yang melamun di kursi meja belajarnya.

Bidadari BarakarsaWhere stories live. Discover now