6. Tong-Tong Minyak

272 26 15
                                    

Makan siang sangat nikmat bila dibawah pohon sakura yang teduh melindungi dari terik matahari yang mampu membakar hidup-hidup belalang di daun sebrang. Angin kering sesekali berhembus, membawa awan-awan tipis yang lebih bermakna dari polesan Van Gogh. Langit yang indah itu justru membuat iri rumput di bumi yang mengering memohon pelukan hujan.

"Rainer, kenapa langit biru?" tanya Bertholdt kecil, mengunyah roti lapis nya dengan santai.

"Paman memberi tahu kalau para malaikat harusnya mengantarkan cat biru untuk mengisi laut, tapi mereka bertengkar dan menumpahkannya di langit." Reiner menjawabnya dengan yakin, alisnya menukik untuk membuktikan itu. Tangannya menunjuk langit dengan awan-awan yang bergulung, "Lihat, satu disana terlihat seperti bayi!"

"Apa kamu tahu cara membuat bayi?"

Reiner mengambil acar timun dari roti lapis, mememisahkannya dari bagiannya sebelum makan dengan sekali suap. "Tahu. Aku bertemu bocah pirang di pasar, dia bilang setiap orang tua mengirim surat kepada Tuhan untuk memilih bayi dan malaikat yang mengirimnya ke perut ibu."

"Bisa beri aku satu?"

"Kenapa? Kita harus mencuri untuk makan berdua, jika ditambah satu lagi maka hasil kerja kita tidak akan cukup." anak laki-laki berambut pirang pendek itu cemberut kepada rekannya.

"Kita bisa memakannya." Bertholdt terdiam sejenak, bergetar dan memikirkan sesuatu sebelum kembali melanjutkan, "Paman bilang, jika ingin menjadi beruang makanlah beruang."

Anak itu gemetar, memeluk lutut, dia berkali-kali mengusapkan wajahnya ke lengan baju untuk menghapus air mata. Sementara rekannya, yang sedikit lebih tua, berdecak kesal sebelum memeluk Bertholdt dari samping.

"Ya. Kita lupa rasa daging." Reiner tersenyum saat menjejalkan tangannya sendiri ke mulut Bertholdt.

.

.

Bertholdt mematikan semua indra begitu dia memasukan kejantananya di anal si bocah itu. Seharusnya begitu. Tapi nyatanya dia masih bisa mendengar jeritan sakit si bocah, kengerian penghuni sel, dan tawa mengejek Reiner. Dia menolak untuk melihat apa yang dia lakukan dan mogok untuk menggerakkan pinggulnya sebagaimana seharusnya. Itu salah, semuanya salah. Dia salah karena tidak bergerak, tapi juga salah jika dia bergerak. Itu adalah pilihan antara nuraninya kepada orang lain atau nuraninya kepada diri sendiri. 

"Ada apa, Bewry? Ayo tunjukan tarian indah mu, Sayang!" Reiner memasang peredam suara pada senjata laras panjangnya, menampil seringai yang mengalarm bahaya di otak semua yang melihat. Mereka tidak perlu diberitahu apa yang terjadi selanjutnya jika ada satu detail saja yang tidak pria itu sukai.

Berthold menggertakan giginya, merasakan kebencian menjalar di tiap gerakannya. Dia menutup telinganya untuk menolak setiap suara yang masuk, kendati begitu, ketika dia membuka mata jelas baginya melihat gerakan mulut si bocah yang melolong kesakitan. Tangannya yang buntung sebelah mencoba menjauhkan pinggang Bertholdt darinya sementara pria itu juga merasa ngilu di paha karena berkali-kali menghantam tulang kaki yang mencuat karena pemutilasian yang tidak sempurna.

Dan Bertholdt tidak menjadi lega ketika akhirnya dia mencapai klimaks, menarik keluar penisnya dan membiarkan benihnya berceceran di lantai. Bocah itu masih sesenggukan, terkapar di lantai seperti manekin rusak. Bertholdt tahu rasanya seperti apa, dan itu sangat buruk, hanya iblis yang mau melakukannya dan sekarang dia menjadi bagian itu.

"Maaf..." gumamnya dengan sangat lirih saat melihat bagaimana jejak-jejak air mata mulai mengering di wajah si bocah.

"Bravo!" Reiner bertepuk tangan meriah, berjalan dengan meloncat-loncat kecil untuk mengekspresikan gembiranya. Dia menghampiri kabel yang menjalar di tembok, menarik kabel tembaga yang sudah tidak berfungsi sampai putus.

The Season I Want to Die [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang