DNA

219 19 7
                                    

Connie menahan suaranya saat tinju Porco menghantam perutnya, dia tetap berdiri tegak dan menolak membuka mulutnya karena dia akan memuntahkannya jika melakukan itu.

"Kamu bahkan tidak bisa menusuk nya di titik yang tepat, Idiot!" bentak Porco, menendang tulang kering Connie agar peliharaanya itu menyadari kesalahannya.

Dia hanya membungkukan badannya sebagai tanda maaf. Tapi itu justru dimanfaatkan Porco untuk menarik punggung Connie ke bawah sementara lututnya bersiap untuk menghantam dadanya. Suara seperti kacang kenari yang terbuka menggema di ruangan besar dan mewah itu, menjadi tanda kalau beberapa tulang sudah patah.

Connie berdiri dan tetap menampilkan wajah tegar. Porco mendekat satu langkah, mencengram rahangnya dengan kuat agar dia menatapnya. "Apa aku perlu mengajarimu lagi?"

Dia segera menggeleng dan sebagai balasannya dia mendapat tamparan yang sangat keras dipipi, itu bahkan membuatnya terhuyung ke samping dan sedikit darah berhasil lolos dari mulutnya. Namun Connie kembali berdiri.

"Keluar dan ambil kembali mayatnya, buang itu di gunung."

Connie mengangguk, membungkukan badannya dan segera pergi dari sana sebelum Porco memukulinya lebih. Dua menutup pintu di belakangnya, bersandar sejenak karena kakinya gemetar. Bukan hanya kakinya, hatinya juga bergetar. Dia segera mengusap matanya yang hendak mengeluarkan air, menegakkan badan dan memberi semangat kepada dirinya sendiri.

Tapi dia berhenti di langkah pertamanya saat mendapati seseorang berdiri tak jauh didepannya. Setelan jas yang rapi, rambut pirang pendek, dan yang paling menonjol adalah bekas jahitan di pipinya.

Dia segera membungkuk kepada orang itu.

"Kali ini apa lagi yang kamu lakukan?" tanya Reiner mendekati Connie dan berhenti hanya dua langkah darinya.

Connie menggeleng dan tersenyum dipaksakan.

"Dasar..." Reiner memukul perut Connie.

Dia yang sudah tidak tahan langsung memuntahkan darahnya, meringis kesakitan dan limbung kedepan. Beruntung Reiner langsung menangkapnya, bagi siapapun mereka terlihat seperti berpelukan.

"Kau yang bilang padaku, kau bisa melakukan semuanya. Apapun artinya segalanya, 'kan?"

Connie mengangguk lemah.

"Aku hanya akan memintamu melakukan satu hal. Ini diluar perusahaan ataupun Porco sendiri." bisik Reiner, dia mengusap tengkuk Connie, kemudian naik untuk memijat pelan telinganya. "Kamu adalah pelajar yang baik, ingin kuajari sesuatu yang penting dalam bisnis ini?"

"A-apa?"

"Bisakah kamu mendapatkan kupon gratis makan ayam untukku? Aku mendekati seseorang yang menyukai ayam."

.

Reiner menghentikan mobilnya didepan bangunan pabrik berlantai tiga. Dia memandangnya dengan bangga. Kakinya melangkah keluar dari mobil, membuka gembok pintu dan masuk ke dalamnya. Tidak ada yang berubah sama sekali. Disana lembab, gelap, hampa, dan amis.

Dia merentangkan kedua tangannya, memejamkan mata dan menghirup aroma darah dan daging busuk yang benar-benar mengerikan bagi orang lain tapi surga baginya.

"Aku pulang..."

Ya... Inilah rumah, rumahku yang sebenarnya.

Reiner menunduk, jarinya terulur untuk mengusap lantai dan membawa beberapa kotoran disana, tanpa ragu menjilatnya. Dia tertawa kecil mendapati betapa buruk rasa itu. "Sangat lezat."

Dia melangkah lebih dalam lagi, naik ke lantai dua dan mendapati lebih banyak bau busuk disana. Senyumnya tak bisa berhenti mengembang seperti paru-parunya yang membengkak kesenangan mendapati udara kotor itu. Tangannya terulur untuk memegang setiap rangkaian besi selama dia berjalan, sama sekali tak mendapat tanda-tanda kehidupan disana. Udara yang dingin membuatnya merasa seperti di freezer daging busuk.

The Season I Want to Die [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang