7. Dahlia

4K 466 12
                                    

next chapter.. 

terima kasih untuk vote dan komennya.. *loveyou.. untuk yang belum, boleh dipencet bintangnya.. *ulululu *maksa *bercandasayangku

happy reading, stay healthy.. *xoxo

-Dahlia simbolizes elegance, inner strength, creativity, and dignity-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Dahlia simbolizes elegance, inner strength, creativity, and dignity-

*****

~~~ Aku berada di balik pintu yang setengah terbuka, terkejut dengan pemandangan yang kulihat saat ini. Dimana ini? Sepertinya aku mengenal ruangan ini, ruangan yang familiar, ruangan yang pernah menjadi tempatku berlindung dari dunia luar, ini rumahku dulu. Rumahku sepuluh tahun lalu, rumahku sebelum aku tinggal bersama Kakek.

Aku mendengar suara isakan tertahan dari seseorang, isakan seorang anak kecil yang sepertinya takut untuk bersuara. Isakan siapa itu? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada siapa-siapa disini. Kemudian aku melihat ke arah cermin yang berada di dinding samping tempatku bersembunyi. Itu aku, anak yang terisak sendirian. Itu aku, sepuluh tahun lalu.

Kemudian perhatianku teralihkan pada suara-suara keras orang dewasa. Dua orang yang sedang bertengkar di balik pintu ini, dua orang yang saling berteriak di dalam kamar itu. Aku kembali mengintip dari celah pintu kamar yang terbuka, itu orangtuaku, Ayah dan Ibu.

Dari balik pintu, aku melihat Ayah berdiri tegak di depan Ibu, tangannya dikepalkan di samping tubuhnya. Aku tahu dia sedang berusaha keras menahan amarahnya. Sementara Ibu terlihat sangat emosional, tubuhnya bergerak tak beraturan, seiiring dengan meningkatnya volume suara. Ibu sangat marah saat ini.

"Kamu gila ya? Sebenarnya apa yang kamu pikirkan? Kamu mau mengurung aku di sini? Mau mengurung Kiara juga disini? Kamu benar-benar gila. Mungkin memang darah kegilaan keluarga kamu menurun ya?" teriak Ibu pada Ayah.

Ayah terlihat kacau, suaranya bergetar hebat. "Kamu ngomong apa?" Tangannya terulur ke depan, berusaha menarik tangan Ibu agar bergerak ke arahnya.

"Aku bilang, lepaskan! Aku sudah tidak sanggup lagi hidup bersama dengan kamu. Aku mau pergi! Aku bisa ikut gila kalau bersama kamu terus!" ujar Ibu sambil berlalu dari hadapan Ayah, keluar kamar.

"Kamu mau pergi? Lalu bagaimana denganku? Bagaimana dengan Kiara?" tanya Ayah lemah, mencoba menahan kepergian Ibu, tanpa berusaha keras.

"Terserah, kalau kamu mau, kamu bisa ambil Kiara, terserah aku tidak peduli. Aku hanya ingin pergi dari sini, aku sudah tidak bisa lagi bersama kamu. Kamu tidak stabil."

"Karin!" panggil Ayah pada Ibu, tapi Ibu seakan tidak peduli dan tetap beranjak keluar dari kamar, menuju pintu ke arahku.

Ibu membuka pintu, tepat di mana aku berada. Pandangannya tertuju padaku, pada seorang anak kecil berusia sepuluh tahun, yang saat ini terduduk pasrah di lantai, tertangkap basah sedang menguping.

Senja Bersama Awan (END, KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang