53. Sebuah Keputusan

1.4K 196 11
                                    

Setelah pulang ke rumah, rasanya beban yang tadi aku tanggung sedikit berkurang. Tapi itu tak bertahan lama saat mas Al menelepon dan menanyakan tadi aku ke mana sebelum pulang ke rumah. Karena aku sendiripun tadi juga menghindari dia.

Menolak ajakan pulangnya ya karena ada urusan dengan pak Abi.

"Ke restoran, makan." jawabku.

"Tapi saya lihat kamu keluar berdua bersama pak Abi. Dia sudah kembali ke Jakarta kan?"

Ah, rupanya mas Al mengikuti ku ya. Kalau sudah begini, artinya aku harus menjelaskan semuanya kan. Tentang program pendidikan luar negeri yang akan aku ambil, terutama keputusan kita dimasa depan.

"Mas, aku boleh menjelaskan?"

"Tidakkah lebih baik berbicara langsung. Besok hari Minggu, mari kita bicarakan dan menyelesaikan masalah kita. Saya sudah bosan dengan semua kesalahpahaman ini Sya."

"Oke, terserah mas aja. Dan maaf kalau sudah menyembunyikan banyak hal, terutama tentang psk Abi."

"Ya, saya tutup dulu teleponnya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku langsung merebahkan diri di atas kasur, menikmati betapa nyamannya posisi seperti ini. Hampir tengah malam, dan aku baru bisa beristirahat. Cukup melelahkan apalagi ditambah masalah yang belum terselesaikan.

Papa bilang kalau sekarang aku bukan hanya tentang aku lagi. Tapi juga tentang mas Al, dimana aku sudah berubah menjadi kita.

Apapun yang terjadi harus diselesaikan berdua. Terutama masalah sepenting ini, takutnya mas Al malah tahu dari orang lain terlebih dahulu ketimbang aku. Itu akan semakin memperparah keadaan.

Pernikahan juga akan terlaksana satu bulan lagi. Tapi ketika waktu semakin mendekat ke hari penting itu, malah masalah berlomba-lomba untuk menyerang ku dan mas Al. Seolah-olah masalah kami tidak ada hentinya, selalu berpusat pada kesalahpahaman atau kecurigaan.

Aku tahu, semakin mendekat ke hari pernikahan, semakin banyak pula masalah yang terjadi diantara pengantin pria dan wanita. Termasuk masalah yang sempat membuat kami mungkin--berpikir untuk tidak melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Tapi Alhamdulillah itu teratasi sedikit demi sedikit.

Tok tok

Aku menoleh kearah pintu, bangkit namun sebelumnya membenarkan letak jilbab yang aku pakai.

"Mama? Ada apa Ma?" tanyaku saat mengetahui itu adalah Mama. Tumben jam segini belum tidur.

"Kamu baru pulang ya? Capek enggak?"

Aku bingung dengan pertanyaan Mama, tumben banget sih. Pasti ada hal lain dari pertanyaannya barusan. "Capek sih, emang kenapa Ma?"

"Di panggil Papa kamu. Suruh ke kamar, sana cepetan. Mama mau ke dapur dulu, sekalian tengokin Alya." jelas Mama. Sebelum melangkah aku menghentikannya dulu.

"Kenapa mbak Alya?"

"Habis terpeleset di kamar mandi, tapi untungnya kandungannya kuat. Jadi baik-baik aja, ya cuma sempat kerasa sakit dia nya."

"Astaghfirullah, ya udah Syarin samperin Papa dulu ya Ma. Besok pagi aja Syarin temui mbak Alya."

"Iya."

°•°•°•°

Pembicaraan bersama Papa cukup membuatku kepikiran. Kenapa harus memutuskan disaat aku sudah bersama dengan mas Al. Andai jauh sebelum itu, pastinya aku akan dengan mudah mengambil tawaran itu, sayang sekali jika disia-siakan. Karena ini adalah impianku sejak dulu.

Assalamualaikum Cinta 2Where stories live. Discover now