54. Semakin Memburuk

1.4K 199 16
                                    

Tiga hari setelah pembicaraan itu, aku dan mas Al cukup menjaga jarak. Baik di dalam maupun di luar rumah sakit. Aku juga bingung harus memulai seperti apa untuk mengajaknya berbicara.

"Sya, boleh minta tolong nitip print laporan gak?"

Aku mendongak, dan tersenyum pada Jihan. "Boleh, kirim aja file nya. Jangan pakai flashdisk ya."

"Oke Sya. Eh iya, itu kok--aku perhatiin kalian kayak lagi jauh-jauhan sih?"

Hah? Begitu kentara sekali ya?

Ini nih hal yang paling tidak disukai, yaitu menjalin hubungan dalam lingkungan pekerjaan. Yang ada, semuanya bakal tahu ada tidaknya masalah diantara pasangan tersebut. Mau sembunyi-sembunyi pun enggak akan bisa.

Terlalu terlihat jelas di mata. Ya jelas lah, apalagi mas Al itu tipe orang yang--ya cukup perhatian lah. Yang sering kali perhatiannya padaku dipergoki oleh salah satu perawat ataupun dokter. Tak terkecuali dokter Afnan dan Papa.

Tidak mau terlalu memikirkan masalah pribadi, aku bergegas berangkat untuk mencetak laporan follow-up pasien hari ini. Karena pasien dari Minggu kemarin melampaui grafik rata-rata perminggu di rumah sakit. Maklum sekarang maraknya aksi demo kenaikan bahan pokok, membuat sejumlah pedagang dan konsumen melakukan aksi demo. Yang mana pastinya akan banyak korban berjatuhan. Misalnya dehidrasi, kelelahan yang lumayan fatal, dan masih banyak lagi. Maka dari itu, laporan pasien menumpuk kalau tidak segera di kerjakan.

°•°•°•°

"Bisa nanti selepas pekerjaan, kita bicara Sya?"

"Eh?" aku terkejut karena kehadirannya yang tiba-tiba.

Dengan ragu aku mengangguk dan setelahnya dia kembali pergi entah kemana. Ah, sebenarnya apa yang tengah mas Al rasakan. Jelasnya pasti dia merasa dipermainkan, dan kecewa.

Aku tahu aku wanita jahat, karena terlalu egois dengan keadaan yang ada. Namun, aku juga tidak mau kehilangan impianku maupun kehilangan mas Al. Bagiku mas Al juga penting, sangat penting malahan.

Ketulusannya, bisakah aku menemukan hal itu lagi?

Jelas tidak, karena pria seperti mas Al sangat jarang sekali. Dan aku beruntung karena dicintai oleh dia, dan bodohnya aku karena sampai sekarang belum bisa membalas cinta itu.

Rasa sayang yang aku rasakan, belum cukup menyeimbangi betapa dirinya mencintaiku. Yang aku takutkan adalah, ketika aku benar-benar pergi menggapai mimpiku. Bisakah hatiku terjaga dan terkonsisten berusaha mencintainya.

10 tahun bukan waktu yang singkat.

Jangankan 10 tahun, setahun saja mampu mengubah kehidupan dan hati manusia. Aku takut jika mas Al sudah menyerah dan tak lagi menginginkanku.

Ada orang yang bilang, lebih baik menyesal setelah melakukan dari pada menyesal karena tidak melakukan.

"Sya. Hei Syarin."

Aku tersentak dan langsung menoleh kebelakang. Astaghfirullah lihatlah siapa yang datang.

"Mami, kok Mami bisa ada di sini? Mami sakit?" tanyaku. Aku menatap ibu dari mas Al ini dengan seksama. Dan tiba-tiba terlintas pertanyaan, apakah Mami tahu tentang rencana kepergian ku 10 tahun lamanya?

Hah, mana mungkin.

"Enggak, ini tadi Mami anterin Papi kontrol gula darah nya. Eh orangnya sekarang lagi di kantin rumah sakit, masih sempat-sempatnya cari makanan. Ya udah deh Mami masuk lagi niat cari Alfred. Malah tahunya ketemu sama kamu. Kabar kamu baik?"

Assalamualaikum Cinta 2Where stories live. Discover now