6.Simalakama

2.1K 222 57
                                    

"Kamu kenapa ngijinin mereka?"

"Emang kenapa? Gak salah 'kan?"

"Tapi kalo ada apa-apa sama adik kamu gimana?"

"Apa-apa gimana?"

"Kamu 'kan kakaknya Gya, masa iyain aja cowo yang gak jelas ngajak adik kamu pergi gitu aja. Kita juga gak tau Juna kaya gimana?"

"Ya emang kenapa kalo Juna ngajak Gya jalan? Aku emang baru kenal sama Juna, tapi aku kenal gimana adik aku. Dia gak akan bodoh dan mau diajak sembarangan orang kalo dia gak kenal sama orang itu!"

Sial! Bian tersentak saat sadar telah berbicara omong kosong. Rasa marah membuatnya bertindak bodoh dan tanpa sengaja melampiaskan semua pada Ginatri. Lagipula, untuk apa dia pusing memikirkan Gyandra. Toh itu bukan urusannya lagi. "Bodoh!" makinya dalam hati.

Ginatri menatap Bian yang membisu. Entah mengapa, perhatian Bian terasa janggal. Namun, dia menepis semua pikiran buruknya. Mungkin memang benar dia khawatir pada Gyandra mengingat dia adalah calon adik iparnya. "Bian 'kan memang begitu. Dia memang dingin pada setiap orang, tapi ramah dan perhatian pada orang terdekatnya," batinnya. Mengingat itu, hati Ginatri menghangat. Betapa beruntung memiliki seseorang yang peduli pada keluarganya.

Dia menyentuh tangan Bian dan menggenggamnya erat. "Gak apa-apa,Yang. Gya bisa jaga diri dia sendiri kok."

Bian merasa bersalah melihat senyum Ginatri. Entah apa yang dipikirkannya hingga dia tidak menaruh sedikit pun curiga pada Bian. Meskipun disatu sisi Bian merasa beruntung karena pikiran positifnya. "Maaf," ucapnya seraya mencium tangan Ginatri.

Berbeda dengan Bian yang selamat dari kecurigaan Ginatri, Juna harus merasakan amukan Gyandra. Entah apa yang merasukinya hingga dia sampai menendang kaki Juna dan berbalik meninggalkannya pergi.

"Gy, tungguin dong!" Serunya dengan tertatih mengejar Gyandra. Niat hati ingin menghibur, tapi yang di dapat lain dengan ekspektasinya. Juna berhenti saat Gyandra berbalik dan menatapnya tajam.

"Kenapa sih pake kabur? Kaki aku juga sakit tau gak! Dikira bola apa main nendang aja," keluhnya.

"Bodo amat! Untuk orang nyebelin kaya kamu itu balesan yang setimpal tau gak!"

"Kok gitu sih. Aku kan cuma mau ngehibur kamu."

"Yang begitu dibilang ngehibur? Pantes aja kamu jomlo terus! Mana ada orang yang mau kalo kelakuan kamu cuma bikin orang keki!"

"Lah, ya emang bener kan? Kamu lagi galau makanya aku beliin kamu tisu biar kalo kamu nangis, aku gak perlu nyodorin baju buat lap ingus kamu."

Suara Juna yang keras mengundang tawa sebagian pedagang juga orang-orang di sekitar taman. Membuat Gyandra benar-benar malu.

"Udah mbak, cowo emang gak peka. Maklumin aja," celetuk salah satu wanita yang tidak jauh dari mereka.

"Enak aja! Aku peka tau." balas Juna tak ingin kalah.

"Kalo peka, si mbak gak mungkin marah mas."

"Biarin aja. Niat baik emang gak selalu di terima dengan baik," ujar Juna sok bijak. "Loh, cewek tadi mana, mbak?" tanyanya lagi saat sadar Gyandra tidak berada disisinya.

"Pergilah! Tuh, kesana!"

"Yowis, mba. Makasih," ucapnya dan mengejar Gyandra. Jika begini, rasanya seperti sedang membujuk kekasih yang sedang merajuk. Juna juga merasa konyol mengingat alasan dirinya bertengkar dengan Gyandra. Beruntung tidak ada penjual musik di pinggir jalan. Jika ada, Juna pasti  akan menjadi bintang film India dadakan yang mengejar sang pujaan hati. Bedanya, lagu yang akan mengiringi mereka mungkin bukan lagu India melainkan tembang pantura yang sedang hits saat ini. Membayangkannya saja membuat bulu kuduk berdiri. "Ngeri," ucapnya.

"Gy, tunggu!" Juna mencekal tangan Gyandra. Namun, Gyandra menepisnya dan menatap Juna dengan malas. "Maaf. Aku cuma bercanda," imbuh Juna dengan wajah memelas.

"Lagian kamu ngeselin."

"Iya. Aku emang ngeselin orangnya."

"Jahat!"

"Iya."

"Mirip kambing!"

"Iya. Eh...." Gyandra tertawa mendengar respon Juna."Iya 'kan?"

"Sembarangan! Aku mah ganteng! Liat nih, liat baik-baik." Juna meraih tangan Gyandra dan memajukan wajahnya. Memintanya untuk melihat dengan teliti. "Pegang nih muka aku. Bersih bersinar 'kan?"

Gyandra mengerjap cepat. Wajahnya memanas melihat wajah Juna yang begitu dekat dengannya. Niat hati ingin membalas, tapi malah dia yang jadi salah tingkah. "Ini sih senjata makan tuan," makinya dalam hati.
Gyandra menarik tangannya dari wajah Juna. Berdehem kecil untuk menghilangkan rasa canggungnya.

"Mau pulang." ucap Gyandra.

"Tinggal pulang," balas Juna acuh.
Gyandra menatap Juna lelah. Berhadapan dengan Juna benar-benar menguras tenaga. Dalam hati dia berdoa, semoga saja tensi darahnya tetap normal. Entah bagaimana nasib orang yang akan jadi istrinya nanti. Melihat Juna yang belum juga mengerti membuat Gyandra berdecak. "Kamu gak mau nganterin?"

Dalam hati Juna mendesis."Dasar cewek! Tadi kabur, sekarang minta dianterin." Juna melirik Gyandra jail tergoda untuk mengerjainya lagi. "Motorku diparkiran."

"Ambil!"

"Bareng."

"Ogah! Aku malu balik ke sana." Tolak Gyandra mentah-mentah. Juna hanya tertawa dan mengacak kepala Gyandra. "Oke. Tunggu disini," ucapnya dan berlalu meninggalkan Gyandra.

Ada sesuatu yang beda dari Juna dan Gyandra tidak tahu apa. Dia juga tidak ingin mencari tahu. Larut dalam lamunannya, Gyandra tidak sadar jika Juna telah berada di depannya.

"Ojek nya, mbak," ucapnya membuyarkan pikiran Gyandra.

"Kamu tuh yah. Seneng banget jailin orang."

"Daripada baperin anak orang. Repot!"

Gyandra mengabaikan ucapan Juna dan menaiki motor. Membiarkan Juna dengan segudang kejailannya yang membuat Gyandra lelah. Meskipun begitu, dia bersyukur karena Juna bisa membuat perasaannya lebih ringan meski dengan cara yang berbeda dari orang lain. Entah apa yang akan dia lakukan jika saja dia tidak bertemu dengan Juna hari ini.

Hanya butuh waktu dua puluh menit bagi Juna untuk sampai ke rumah Gyandra. Rasa enggan merasukinya saat Gyandra turun dan memberikan helm padanya.

"Nih, sana pulang! Aku capek, jadi gak usah mampir."

"Seriusan?"

"Iya."

"Gak nawarin aku buat masuk dulu atau sekedar minum gitu?"

"Kapan-kapan aja. Aku capek, mau tidur."

"Dasar. Ya udah, sana masuk," titah Juna.
Gyandra mengangguk lantas berbalik. Namun, Juna menahan Gyandra dan memeluknya. Dia juga mencium kening Gyandra singkat. "Mimpi indah," ucapnya dan berlalu.

Gyandra terperanjat dan melihat sekitar dengan was-was. Takut jika ada seseorang yang melihat apa yang dilakukan Juna padanya. Terlebih jika salah satu keluarganya tahu. Mungkin dia harus mengurung diri dan menghindari mereka karena malu. Apalagi jika itu Rama.

Setelah yakin tidak ada yang melihat, Gyandra berbalik dan masuk ke rumah. Namun, Gyandra berhenti saat melihat Bian. Berhubungan lama dengan Bian membuat Gyandra mengenalnya dengan baik. Karenanya, dia yakin jika Bian akan pulang larut hingga dia sengaja untuk pulang lebih awal untuk menghindar. Namun, dia tidak menduga jika tebakannya akan meleset.
Keraguan menahan langkahnya. Pikirannya berkecamuk. Bagai simalakama. Enggan maju, tapi tidak bisa mundur. Apa yang harus dia lakukan? Perlukah menyapa? Atau mengabaikan saja.

Larut dalam pikirannya, Gyandra tidak sadar jika dia hanya diam ditempat dengan Bian yang berjalan kearahnya. Gyandra akan bertekad hanya akan tersenyum saat Bian lewat. Setidaknya untuk menjaga kesan baik sebagai adik ipar. Namun, Gyandra sadar jika semua perang batinnya tidak berguna saat mendengar ucapan Bian padanya.

"Jalang."

Selamat pagi. Maapkan aku yang baru update pagi ini karena kondisi yang buruk 3hari terakhir. Jaga kesehatan buat kakak" semua. Sehat selalu dan jangan lupa patuhi protokol kesehatan karena sehat itu mahal 🤗

Anak PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang