11. curhat ambyar

1.6K 161 17
                                    

Juna menatap Gyandra yang sedang berlari dengan perasaan khawatir. Entah apa yang merasukinya hingga dia berlari seperti orang yang kesetanan. Karenanya, Juna kembali ke lapangan dan menghadang Gyandra hingga membuatnya terjatuh dengan posisi Gyandra berada dalam pelukannya. Beruntung lapangan Ranggajati sedang sepi karena hari masih siang. Jika saja sedang ramai, sudah pasti orang-orang menganggapnya sedang mesum. Siapa juga yang ingin berlari di siang bolong begini. "Kamu gila yah? Kalo mau mati jangan nyuruh aku jadi saksi!" Omelnya pada Gyandra. "Bangun! Kamu berat!"

Gyandra menatap Juna ketus. "Siapa juga yang nyuruh kamu buat ngehalangin aku!" ucapnya sambil berdiri dan bersiap untuk lari kembali. Namun, Juna mencekal tangannya, memaksa Gyandra ke sisi lapangan dan duduk. "Istirahat dulu. Kamu baru sembuh. Kamu mau sakit lagi, hah?"

"Bodo amat! Toh gak ada yang peduli sama aku!"

"Aku peduli! Sini, duduk dulu." Ajak Juna dengan menepuk sisi kirinya yang kosong.

Gyandra terdiam mendengar ucapan Juna. Pikirannya benar-benar kacau hingga membuatnya buntu. Dia menghela napas dan melirik Juna sekilas. Mungkin memang benar dia harus berhenti. Tidak ada gunanya menyiksa diri. Dia mengambil duduk di sebelah Juna dan menatap lapangan dengan tatapan kosong.

Hening. Gyandra tidak ingin bicara dan larut dalam pikirannya sementara Juna tidak ingin memaksa Gyandra untuk bercerita. Sesekali bisa Juna dengar helaan napas panjang darinya. Juna menoleh dan menatapnya prihatin. "Mau berbagi?" Tawarnya saat melihat wajah Gyandra yang kusut.

Gyandra diam. Namun, lagi-lagi dia menghela napas panjang. "Aku benci sama papa. Papa benar-benar gila!" ucapnya lirih. Mulai bercerita.

Juna menghela napas. Tidak tahu harus menghibur dengan cara apa. Ah, bukan tidak tahu, tapi lebih tepatnya bingung. Jika saja dia diposisi Gyandra. Mungkin dia juga akan sama frustasinya. Jangankan melihat orang terkasih memadu kasih, melihat mantan saja rasanya Juna benci setengah mati meskipun hanya beberapa menit. Bisa dia bayangkan bagaimana rasanya harus bertemu mantan yang masih di cinta setiap hari. "Ini sih neraka dunia," batinnya.

"Perlu aku bujuk papa mu biar bisa kerja di aku?"

Sejenak, tawaran Juna terasa menggoda bagi Gyandra. Bukan sekali atau dua kali dia mencoba untuk merayu Rama. Sepulang dari rumah sakit, juga selama ada kesempatan, dia mencoba untuk berbicara dari hati ke hati pada Rama. Memberi pengertian sampai memohon, tapi Rama bak batu yang benar-benar kokoh. Sulit untuk di goyahkan. "Kamu harus belajar bisnis. Biar saat papa pensiun, kamu sama Gina bisa bekerja sama dengan baik!"

Sial! Lagi-lagi dia harus berkorban demi kakaknya. Malang sekali nasibnya. Harus menjadi bayangan dari Ginatri.

"Gy!"

Gyandra tersentak saat Juna memanggilnya. "Aku gak tuli sampe kamu harus teriak manggil aku, Jun!"

"Lagian dipanggil diem aja! Mau aku bantuin gak?" tawarnya lagi.

Gyandra menghela napas. "Jika saja semudah itu."

"Lah emang apa salahnya? Jangan menyerah sebelum mencoba!" ujarnya menyemangati.

"Aku udah berusaha. Kalo kak Gina aja gak bisa apalagi kamu," ucap Gyandra ragu.

"Wah, ngeremehin nih. Gini-gini juga aku pinter merayu tahu," ucapnya dengan menepuk dada.

Gyandra melihat Juna datar. Tidak terhibur ataupun tertarik sama sekali dengan ucapan Juna. "Juna, aku serius," ucapnya dengan menundukkan kepala.

"Siapa juga yang ngajak bercanda?" Juna menatap dan mengusap kepala Gyandra pelan. "Aku juga serius. Gini deh, kalo kamu ragu sama aku, aku bisa minta bantuan papa buat kasih kamu satu kursi di kantornya. Gimana?" usulnya lagi.

Gyandra menggeleng. "Gak tahu lah. Aku bingung."

"Ribet yah jadi cewe!"

Gyandra menoleh ke arah Juna. Tersinggung. "Tukeran posisi yuk. Gak perlu tiap hari. Sehari aja biar kamu tahu rasanya jadi aku!"

"Ogah! Ribet jadi kamu! Gini deh, Gy. Aku tahu aku cuma bisa kasih saran ke kamu. Apa salahnya kamu ngambil sisi positif dari kejadian ini? Kamu cuma kerja 'kan? Belajar bisnis seperti yang papa kamu bilang. Bukan buat bermuram durja ngeliat mantan sialan kamu itu. Lagi pula...." Juna memegang bahu Gyandra dan memutarnya, menatap dengan tajam. "Kamu juga harus move on 'kan?"

Gyandra tertawa hambar. Dia menggeleng dan menepis tangan Juna dari bahunya. Gyandra menatap sendu. "Ini bukan soal move on atau gak Jun, tapi soal papa yang gak pernah ngehargain pilihan aku. Salah yah kalo aku punya mimpi sendiri? Salah kalo aku ingin coba buat mandiri? Aku tahu yang papa lakuin itu demi kebaikan aku, tapi gak gini caranya Jun. Aku punya mimpi. Aku memang gak kaya kak Gina yang bisa cepat untuk belajar, dan terkesan lambat, tapi aku mau coba buat meraih mimpi aku. Apa aku salah?" Gyandra menunduk dan mulai terisak. Dadanya benar-benar sesak mengingat perlakuan Rama padanya.

Juna menatap Gyandra dengan prihatin. Dia tahu betul bagaimana kehidupan Gyandra. Juna juga tahu betapa sulitnya mewujudkan mimpi dimana semua orang meremehkan pilihannya. Terlebih, orang tua yang seharusnya mendukung malah menjadi orang pertama yang merusak mimpi juga kepercayaannya.

Juna memeluk Gyandra. Percuma jika dia menenangkannya dengan kata-kata, Gyandra tidak membutuhkannya. Satu yang pasti, dia ingin didengar. Juna menepuk pundak Gyandra pelan dan saat dia mulai tenang, Juna meregangkan pelukannya dan menatap Gyandra dengan senyum teduh. "Udah mendingan?" tanyanya.

Gyandra mengangguk lemah. Dia menyeka sisa air mata dengan tangannya. "Nih." Juna menyodorkan handuk pada Gyandra hingga membuat Gyandra mendongakkan kepalanya pelan. "Aku gak punya tisu cuma bawa handuk karena kamu ngajak aku lari, jadi aku gak tau kalo kamu mau nangis. Jadi pake ini aja. Atau mau pake air mineral?" candanya mencairkan suasana.

Gyandra tertawa kecil. Entah dirinya harus merasa jengkel atau bersyukur karena sikap Juna yang kadang tanpa sadar merusak suasana. Namun yang pasti, hatinya merasa sedikit lebih lega dari sebelumnya.

Gyandra mengambil handuk yang disodorkan Juna dan mengelap wajahnya. Tak lupa dia juga mengelap ingusnya dengan handuk yang Juna berikan hingga membuatnya meringis jijik. "Gak usah dibalikin lagi. Simpen aja buat kamu. Aku masih punya banyak," ucapnya saat Gyandra menyodorkan handuknya kembali.

"Mana?" Gyandra menyodorkan tangan pada Juna.

"Apanya?"

"Minum. Aku haus."

"Dasar cewek! Makanya kalo galau jangan nangis, tidur aja udah!" ucapnya sambil memberikan minum pada Gyandra.

Gyandra meneguk minuman itu dengan kasar. Hingga membuat Juna menggelengkan kepalanya. "Biasa aja minumnya. Gak akan ada minta! Keselek baru tau rasa!" ucap Juna yang dijawab anggukan dari Gyandra.

Semilir angin memberikan rasa sejuk bagi mereka. Lapangan juga mulai ramai karena banyaknya orang yang berdatangan untuk olahraga saat menjelang sore meskipun hanya untuk sekedar berlari. Juna mengajak Gyandra untuk pulang. Namun Gyandra menolak karena dia tidak ingin bertemu dengan Rama. Alhasil, Juna juga harus menemaninya. Bisa saja bagi Juna meninggalkan Gyandra sendirian, tapi dia tidak ingin melakukannya karena keadaan Gyandra yang menyedihkan meskipun dia berkata sudah lebih baik.

"Mau ikut aku gak?" Ajaknya saat merasa bosan hanya duduk diam mandang orang lain.

Gyandra menoleh. "Kemana?"

"Ayo bangun," titahnya. Namun Gyandra hanya diam dan menatap datar.

Juna menghela napas. "Aku laper. Ada tukang jajanan yang enak disekitar sini. Daripada diem dan liatin orang gak jelas mending disana sambil makan," usulnya pada Gyandra.

Gyandra ingin, tapi ragu. "Bau keringat, aku malu." tanyanya dengan mengendus dirinya sendiri.

"Gak apa-apa. Gak peduli mau kamu bau kambing juga, yang penting mah bayar!"

"Enak aja! mana ada aku bau kambing. Juna tunggu!" Seru Gyandra dengan berdiri dan mulai mengejar Juna yang sudah berada di depannya.

Hallo, selamat malam dan selamat hari raya Idul Adha buat yang merayakan. Yang nunggu Juna, coba angkat jempolnya. 😅

Anak PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang