29. Mama

1.3K 150 13
                                    

"Untuk apa kemari? Bukankah sudah ku katakan jika kehadiranmu tidak diterima?" ucap Bian kesal.

Maya menunduk. Dia memperhatikan Bian dan tersenyum sendu. "Mama hanya ingin memberikan ini," jelasnya dengan menunjukkan bungkusan yang ada di tangan.

Bian tersenyum remeh. "Untuk apa? Kamu pikir semua akan berakhir hanya karena kamu memberikan itu?"

Maya terdiam. Tidak mampu mengatakan apapun. Matanya panas. Menahan sakit juga rasa perih dihatinya. "Tapi, nak. Setidaknya...."

"Pergi!" Usir Bian dingin.

Maya masih setia berdiri. Enggan untuk beranjak meski Bian mengusirnya. "Tolong, sekali saja. Biarkan Mama mengobati lukamu," pintanya sendu.

Bian tersenyum hambar. "Mama? Siapa yang kamu maksud mama? Kamu bukan ibuku! Ibuku Risna dan dia telah meninggal."

Maya menggeleng pelan. "Kamu...." Maya terdiam. Tak mampu mengatakannya. Suaranya bergetar menahan tangis. Dia mengedarkan pandangan. Mencari apapun yang bisa membuatnya bertahan agar tidak menangis di depan Bian. Dan saat itulah dia melihat Gyandra. Gadis itu diam mematung. Berdiri di balik tembok. Memutuskan untuk sembunyi.

Maya tersenyum getir. Dia menaruh bungkusan yang dibawanya dan pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah, dia berbalik dan menatap Bian penuh kasih. "Jangan lupa untuk mengobati lukamu, maafkan Mama," ujarnya dengan pergi meninggalkan Bian.

Gyandra yang tidak menyadari jika Maya akan pergi mendadak panik. Dia berusaha untuk menghindar agar tidak terlihat, tapi telat. Maya telah melihatnya dan tersenyum. Dia hanya melewati Gyandra tanpa mengatakan apapun. Tidak seperti biasanya saat dia bertemu Gyandra. Keadaan ini membuatnya canggung juga tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya tersenyum kikuk, tapi Maya justru menatapnya lekat. "Tolong jaga dia," pintanya. Belum sempat Gyandra membalas, Maya telah pergi dari pelataran rumah.

"Kamu tidak akan masuk?"

Gyandra tersentak. Kembali sadar dengan tujuannya berkunjung. Tanpa sadar, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung, juga tidak enak karena ketahuan menguping.

"Masuk!" titah Bian lagi dan Gyandra menurut. Dia mengekor Bian dan duduk di kursi kayu saat Bian menyuruhnya untuk menunggu.

Tidak banyak yang berubah saat dia masuk. Ruang tamunya masih sama seperti terakhir kali dia kemari. Gyandra mengedarkan pandangannya. Menatap sekitar dengan teliti. Hanya sedikit berbeda dengan suasananya. Sepi juga dingin. Diluar hujan mulai turun rintik-rintik. Membuat basah sekitarnya.

Lengang. Gyandra menoleh ke kanan-kiri. Mencari dimana Bian berada. Rencana yang hanya datang dan memberikan dokumen, lantas pulang harus terkubur saat hujan kian deras. Dalam hati, dia juga sangat khawatir dengan keadaan Maya. Wajah Maya yang begitu sendu membuatnya kepikiran. Apakah dia baik-baik saja? Apakah ada yang menjemputnya pulang? Apakah dia berteduh di suatu tempat?
Apakah....

Brak!

Gyandra tersentak saat Bian menaruh beberapa dokumen dengan kasar. Dia duduk di sebelah Gyandra tanpa mengatakan apapun. Diam dan mulai membaca dokumen dihadapannya.

Hening. Ruang tamu itu bagai kuburan dadakan. Sepi juga dingin. Gyandra menelan ludah. Keadaan ini sama sekali tidak membuatnya nyaman.

"Seingatku, aku menyuruhmu segera kembali begitu mendapatkan dokumennya, tapi ini terlambat begitu lama. Kemana kamu pergi?" tanya Bian memecah keheningan. Tangannya membolak balik dokumen yang dia baca.

Gyandra mengerjapkan mata. "Itu...."

"Apa ucapan ku kurang jelas bagimu?" Bian memotong ucapan Gyandra sebelum dia sempat menyelesaikannya.

"Apa? Ah... Tidak. Tadi macet, jadi aku telat," ujarnya mencari alasan.

Bian mendengus. Dia menutup dokumen kasar dan menatap tajam. "Kamu pikir aku bodoh? Kamu pergi menemui Juna bukan?"

Gyandra mengerjap cepat. Memang kenapa kalo dia menemui Juna? Bukankah itu urusannya? Lagipula, dia tidak berhak mengatur siapa yang boleh ataupun tidak boleh Gyandra temui bukan?

Gyandra membalas tatapan Bian dengan santai. Mengangkat bahu, tidak peduli. "Siapapun yang aku temui, bukan urusan Bapak," ujarnya dengan menekankan kata Bapak pada Bian. Kembali mengingatkannya akan batas hubungan mereka.

Bian mengepalkan tangan. Tidak ada yang salah dari ucapan Gyandra, tapi suasana hatinya yang buruk karena kedatangan Maya membuat dadanya berkobar. Dan ucapan Gyandra seperti bensin yang menyulut api peperangan. "Jangan kira aku peduli dengan siapa yang kamu temui! Saat kamu memutuskan untuk bekerja denganku, maka kamu harus menerima resiko dari keputusanmu!" ujarnya dingin.

Gyandra terdiam. Ucapan Bian membuatnya tersinggung. Dia tidak mengerti mengapa Bian begitu marah. Meskipun dia tahu alasan Bian marah karena kedatangan Maya, tapi tetap saja dia kesal karena harus membawa Juna. Gyandra juga mengakui jika bertemu Juna adalah kesalahannya, tapi bukan berarti Bian bisa seenak jidat mengatur waktu dan ikut campur soal urusan pribadinya. Hey, ini hari minggu dan dia berhak menikmati waktu liburnya bukan?

"Pantas kamu tertinggal dari Gina, urusan pribadi sama kerjaan saja tidak bisa kamu bedakan!"

Deg!

Ucapan Bian menohoknya. Satu hal yang paling Gyandra benci dalam hidup adalah perbandingan. Memang siapa yang tidak bisa membedakan masalah pribadi dengan kerjaan? Jika memang dia orang yang seperti itu, muda baginya menghancurkan usaha Bian. Toh, dia yang memegang kendali, menyusun dan memastikan jadwal Bian sebelum semua sampai padanya. Namun, dia masih waras meskipun dendam terlihat sangat menyenangkan, dia tetap menahan.

Gyandra menghela napas. "Belum saatnya memberontak," ingatnya pada diri sendiri. Berusaha agar tidak meledak dihadapan Bian yang terus memancing emosinya. Petir bersahutan diluar rumah. Ruang tamu itu hening. Hanya tatapan wajah yang saling memandang tajam.

Gyandra menunduk. Mengalah. Lebih baik fokus daripada meladeni Bian. Dia membuka lembar demi lembar dokumen. Larut dalam tumpukan kerja. Berharap semua cepat selesai.

Satu jam berlalu. Hujan semakin lebat. Angin berhembus lebih kencang dari sebelumnya membuat ruangan lebih dingin. Pegal, Gyandra meregangkan otot-ototnya dan menatap keluar. Namun, saat dia menoleh, dia tidak sengaja melihat Bian juga sedang memandang ke luar. Tatapannya jelas. Meski samar, Gyandra yakin jika Bian terlihat gelisah. Sadar ada yang menatapnya, Bian membuang muka. Kembali fokus pada kerjaannya.

"Kalo khawatir, bapak bisa menyusulnya."

Bian menoleh, dia menatap Gyandra tidak mengerti. "Maksud mu?"

"Bukankah bapak khawatir pada Ibu Maya. Bapak khawatir padanya bukan?" tanyanya dengan menatap Bian lekat. Bian membuang muka, matanya tidak sengaja menatap bungkusan yang di bawa Maya untuknya. Dia memungut bungkusan itu dan berdiri santai. Gyandra tersenyum melihat Bian beranjak dan mengambil bungkusannya. Dalam pikirannya, Bian akan mencari Maya dan melunak, tapi sayang. Pikiran Bian berbeda dengan Gyandra. Bingkisan yang diambil Bian, dibuangnya ke tong sampah.

Tercengang, Gyandra menatap Bian tidak percaya. Sebegitu bencinya kah dia pada ibunya sendiri? Hingga enggan menerima sedikit kebaikan yang dia berikan? Gyandra menahan napas saat Bian mendekat dan menekan bahunya. Menatapnya lekat dan dekat. Dia bahkan bisa merasakan hembusan napas Bian. Ruangan mendadak lengang. Tatapan Bian membuatnya ngeri. Tatapan itu, sama seperti saat itu. Sama seperti saat dia memutuskan untuk meninggalkan Gyandra. Apakah kali ini juga sama? Apakah kali ini Bian juga akan meninggalkan keluarganya hanya kesalahan kecil semata?

Namun, Gyandra lupa. Hal kecil baginya, bisa jadi itu adalah hal yang paling besar bagi orang lain. Dan urusan Bian dengan keluarganya, bukanlah hal kecil yang seperti dikatakan Maya pada Gyandra.

Masih di bawah tatapan Bian yang tajam, Gyandra meringis. Memohon lewat sorot matanya agar Bian melepaskannya. Namun, Bian terlanjur dikuasai amarah. Dia telah sampai di ujung. Dia meremas bahunya kencang dan berbisik.

"Berhentilah ikut campur urusan orang lain!"

Selamat malam. Maafkan Dande yang molor update. Niatnya mau up sore, tapi Dande ketiduran. Hihihi

Selamat membaca.🤗

Anak PelakorWhere stories live. Discover now