40. Apa itu masih berlaku?

3K 209 14
                                    

Saat harapan mulai menipis, sedikit cahaya  bisa berharga.

Bian masih terpaku ditempatnya. Mereka telah berpindah dari pusara Risna ke mobil. Hujan mengguyur kota persis saat Gyandra dan Bian telah masuk mobil. Meskipun udara tidak begitu dingin, suasana di dalam begitu suram dengan kebisuan. Bian larut dalam pikirannya sedangkan Gyandra enggan mengganggu meski hanya bertanya. Memberikan ruang bagi Bian agar dia merasa tenang.

"Gy!" Bian lirih memanggil Gyandra. Namun tatapannya masih pada pintu masuk pusara. Daun kamboja berguguran di tiup angin. Gyandra memalingkan wajah dari Bian. Mengikuti arah pandangnya yang masih fokus pada tempat pemakaman umum.

"Apa hidup memang sekejam ini?" tanyanya lirih.

Gyandra menghela napasnya. Sesak di dadanya kembali muncul. Apa yang dikatakan Bian, juga merupakan pertanyaan yang selalu dia lontarkan saat dirinya mulai lelah dengan hidup.

"Menurut mu bagaimana?" Tanyanya balik pada Bian. Bian menggeleng. Dia menyandarkan wajah pada setir mobil dan menatap Gyandra lekat. "Aku, kamu, kenapa kita harus menanggung hal yang bahkan tidak pernah kita lakukan? Aku bahkan tidak bisa memanggil orang tua kandungku sendiri dengan sebutan mama. Gy, apa itu pantas untuk kita? Bahkan kita tidak pernah melakukan apapun sebelumnya bukan? Kesalahan kita hanya satu. Lahir dari rahim yang tidak tepat, tapi apakah kita pantas diperlakukan seperti ini?"

Gyandra bungkam. Bian tersenyum miris. Matanya masih menatap Gyandra lekat. Desiran itu hadir. Bahkan kerinduan yang bisa dia tekan begitu membuncah tanpa bisa dikendalikan. Bian mengepalkan tangannya kuat. Marah karena nasib yang mempermainkannya juga mengingat alasan mengapa dirinya terjebak bersama Ginatri. Ingin rasanya Bian mengatakan apa yang dia ketahui tentang Ginatri pada Gyandra. Namun, mengingat respon Gyandra yang mudah ditebak, dia urung. Biarkan urusannya dengan Ginatri menjadi urusannya. Tanpa Gyandra tahu apapun meskipun menyembunyikannya juga bukan hal yang baik. Kilat menyambar di langit. Keduanya masih terdiam.

"Apa kamu merasa keadaan kita salah, Bi?" Gyandra memecah keheningan. Dia membalas tatapan Bian sama lekatnya. "Aku tidak pernah merasa kelahiran kita adalah hal yang salah. Terlepas dari siapa wanita yang melahirkan kita. Setiap wanita pasti mencintai anaknya. Bukankah tante Maya juga selalu mengharapkanmu? Selalu menanti meskipun kamu tak pernah datang? Aku tidak tahu mengapa kamu begitu membencinya. Bukankah lebih baik jika kamu memeluk dan menerima semua kenyataan ini?" sambung Gyandra.

Bian tersenyum tipis. "Menerima? Apa kamu juga akan merasa berhak menerima semuanya setelah melihat orang yang kamu panggil mama meninggal di depan matamu sendiri karena ibu kandungmu? Hmm?"

Gyandra bungkam. Pertanyaan Bian membuatnya berpikir ulang. Jika dia di posisi Bian, apakah dia juga akan merasa hal yang sama? merasa berdosa dan tidak layak bahagia? Gyandra menggeleng. Tidak. Ini bukan salahnya juga bukan salah Bian. Dulu, saat bersamanya, Gyandra selalu bertanya. Kenapa Bian tidak pernah tersenyum dengan lepas, tertawa dengan benar juga selalu tertutup. Sekarang, semua pertanyaan itu terjawab. Rasa bersalah menekannya untuk melakukan hal yang seharusnya dia lakukan. "Dasar bodoh!" maki Gyandra dalam hatinya.

Gyandra meraih tangan Bian dan menggenggamnya erat. "Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya, Bi. Namun, hidup adalah pilihan. Masa lalu mereka memang tidak bisa dibenarkan, tapi...." Gyandra menghela napas. "Bukankah kita juga tidak perlu menanggung hal yang bukan kesalahan kita? Kenapa kita harus bersusah payah menanggung semuanya?"

"Bukankah aku sangat jahat jika melakukan itu? Rasanya seperti aku benar-benar merebut kehidupan mereka. Yang berbeda hanya karena aku tidak mengotori tanganku sendiri," jawabnya lirih.

"Yang aku tahu, setiap kehidupan itu telah di atur oleh Tuhan. Namun, tetap saja menjadi baik atau buruk, bunuh diri atau bertahan hidup adalah pilihan kita. Jika dulu mama mu memilih untuk mengakhirinya, maka itu bukan salah mu, tapi pilihannya sendiri. Memang terlihat kejam, tapi itu bukan kesalahan mu, Bi."

Bian terisak. Ucapan Gyandra membuatnya tersadar. Bukan untuk mencari pembelaan. Namun, dia memang butuh seseorang yang bisa menenangkan hatinya. Untuk bahagia, kenapa begitu sulit? Bahkan menerima dan memaafkan semuanya terasa begitu tabu bagi Bian. Pernah saat dia ingin kembali dan mengakui jika Maya adalah ibunya, bayangan Risna selalu menghantui. Jika saja, Maya tidak pernah hadir dalam hidup Risna. Mungkin Risna masih hidup dengan anaknya. Mungkin saja dia tidak akan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, tapi apakah semua memang benar begitu? Atau bisa jadi ada Bian juga Maya yang lain.

Bian tergugu. Selalu ada pertanyaan kenapa juga jika saja. Seberapapun dia berusaha, pada akhirnya dia hanya kembali pada jalan yang sama. Rasa bersalah yang tidak berujung.

Gyandra membiarkan Bian larut dalam pikirannya. Dia memalingkan wajah dan kembali mengedarkan pandangannya pada pemakaman umum. Sunyi, dingin, sepi. Jika kelahiran anak adalah sebuah anugrah, kenapa harus ada penderitaan yang tiada henti?

Gyandra kembali memalingkan wajahnya pada Bian. Melihatnya terisak juga lemah ingin rasanya Gyandra memeluk dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Dia ingin mengatakan bahwa Bian berhak melakukan dan mendapatkan apapun. Namun, yang bisa dia lakukan hanya melihatnya tergugu tanpa bisa menenangkan karena jarak. Gyandra tersenyum miris. Betapa mudah takdir mempermainkan hidup. Saat masih bersama Bian, dia begitu sulit mengetahui rahasia Bian. Bahkan pria itu tidak mudah di tebak meskipun dia selalu mencarinya. Namun, saat dia tidak bersamanya, kenapa semua jawaban itu datang bahkan tanpa dia cari?

Bian mendongak. Dia menatap Gyandra dengan wajah sayunya. "Terimakasih. Meskipun aku tidak tahu kapan bisa menerima semuanya, setidaknya berkat mu aku sedikit tenang," ucapnya.

Hari semakin gelap, Bian menjalankan mobilnya dan meninggalkan pemakaman perlahan. Matanya kembali melirik untuk yang terakhir sebelum dia pergi. Jalanan begitu padat saat mereka masuk ke jalan utama. Hujan masih turun mengguyur kota. Gyandra mengedarkan pandangan. Perutnya mulai berulah. Gyandra dan Bian saling pandang. Bian tertawa kecil.

Gyandra manyun. "Jangan ketawa. Lagian gara-gara kamu juga 'kan aku telat makan," protesnya.

"Siapa juga yang nyuruh kamu nemuin aku," kilahnya. Gyandra melirik sinis. Enggan untuk berdebat. Namun, dia merasakan usapan lembut di kepalanya. "Gak perlu cemberut. Aku bukan cowok brengsek yang bakal diemin cewek kelaparan. Mau makan dimana?" tawarnya.

Gyandra menggeleng. "Pulang aja. Aku capek!"

"Ngambek! Gitu aja masa ngambek!" Godanya.

"Aku gak ngambek cuma pengen cepet pulang aja," jawab Gyandra. Keduanya terdiam. Kembali larut dalam pikiran masing-masing. Gyandra menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. Melihat aktivitas kota. Bian berkali-kali menawarkan untuk makan saat dia melewati jajanan atau kafe hingga tempat dia sering menghabiskan makan malam bersama, tapi Gyandra tetap menolak dan bersikukuh ingin segera pulang hingga Bian menurutinya. Sampai di depan Gerbang rumah Gyandra, dia membuka pintu. Namun, Bian menahan tangan Gyandra dan menatapnya lekat hingga membuat Gyandra risih. "Bi, lepasin aku," pintanya.

"Kamu bilang, kalo aku sedih, susah ataupun sakit, aku boleh datang padamu bukan dan kamu akan membuatku lupa dengan kesedihan itu? Apa itu masih berlaku?"

Gyandra terdiam. Ingatan itu kembali hadir. Sesak. Bagimana mungkin dia akan menghiburnya sedangkan dirinya bukan lagi milik Bian. Gyandra menggeleng. "Kamu tahu posisi kita udah berbeda 'kan? Aku bukan lagi orang yang bisa menghiburmu seperti dulu," jawabnya tegas.

Bian tersenyum tipis. Perlahan dia melepas tangannya dan berkata lirih. "Aku tahu, tapi...." Dia menatap Gyandra lekat. "Bisakah kamu memelukku? Sebentar saja. Kumohon," pintanya.

Gyandra terdiam. Otaknya berkata tidak, tapi hati juga tubuhnya berkhianat. Tanpa sadar dia mendekat dan memeluk Bian erat. Berharap bahwa semua yang dia rasakan bisa segera hilang tanpa Gyandra sadari jika seseorang menatap mereka dalam diam.

Hallo, masih adakah yang setia nungguin Gyandra. Maafkan Dande yang lama up. Akhir" ini sibuk tapi selalu nabung capter. Jadwal juga udah mulai gak beraturan. Kalo ada waktu kadang buat istirahat. Kemarin" juga sempet tumbeng. Ttep sehat kesayangan semua. Love you 🤗🤗

Anak PelakorWhere stories live. Discover now