35. Rendah

1.4K 147 12
                                    

Orang bilang cinta pertama adalah cinta yang sulit dilupakan itu hanya omong kosong. Namun, semua itu adalah kebenaran bagi Ginatri. Dari semua hal yang bisa dia terima, dari semua hal yang bisa dia relakan, hanya satu yang tidak bisa dia berikan, hanya satu yang tidak ingin dia bagi. Cinta!

Persetan dengan semua pandangan orang lain. Baginya, kebahagian diri adalah hal utama dan paling pertama, selama masih bisa dia raih, dia tidak akan berhenti.

Seperti saat ini, meskipun dia tahu jika itu salah, dia tetap memaksakan diri untuk datang. Menekan semua harga diri dan statusnya yang merupakan tunangan dari Bian.

"Aku udah bilang, kalo aku gak bisa nemenin kamu hari ini, Gina," tolak Leo secara halus.

Ginatri berdecak. Dia masuk ke rumah Leo dan duduk tanpa permisi. "Kalo kamu gak bisa nemenin aku, biar aku yang nemenin kamu disini," ucapnya dengan senyuman yang manis.

Leo mendesah. "Please, Gin. Aku gak mau ada omongan gak enak soal kamu apalagi sampe bisa ngancurin hubungan kita sama Bian. Tolong, bersikaplah dewasa," pinta Leo dengan melirik pintu rumahnya. Memberi isyarat agar Ginatri pulang.

Ginatri berdiri. Dia menatap Leo tidak senang. "Seriusan? Aku baru dateng dan kamu udah mau nyuruh aku pergi?"

"Bukan gitu, Gin. Aku cuma gak mau ada sesuatu yang...."

"Aku gak peduli!" Ginatri memotong ucapan Leo.

"Tapi aku peduli." Leo menatap Ginatri tegas. "Aku peduli sama kamu, Gin. Aku gak mungkin ngerusak orang yang aku sayang," sambungnya.

Sesak, Ginatri balas menatap Leo lekat. "Kalo kamu sayang, kenapa gak rebut aku dari Bian?"

"Kenapa aku harus merebut kamu? Pertunangan ini juga terjadi karena kemauan kamu 'kan? Meski aku cinta, ingin, juga mampu merebut kamu, aku tetep gak akan ngelakuin hal serendah itu," tekannya.

Ginatri tersentak. Dia menundukkan kepalanya lemas. Merasa tertampar dengan jawaban Leo. Matanya mulai memanas. Namun, dia tidak akan menangis. Hening. Langit mulai menggelap dengan kerlip bintang yang redup karena mendung. Leo mendekat. Mengikis jarak diantara mereka dan mengangkat wajah Ginatri pelan. "Hey, kamu baik-baik aja?" tanyanya saat  melihat Ginatri hanya menundukkan kepalanya.

Ginatri tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Menyembunyikan nyeri dalam hatinya. "Maaf, aku gak berpikir sampai kesana. Aku hanya terlalu senang bisa ketemu kamu sampai lupa kalo hal itu bikin aku rendah dimata kamu."

"Gak gitu, Gina. Maksudku...."

"Aku tahu. Gak apa-apa." Ginatri melepaskan tangan Leo dari wajahnya. "Makasih juga udah ingetin aku. Aku lupa dengan keadaan kita yang udah berbeda sekarang," sambungnya.

Leo menghela napas, frustasi. Rasa bersalah menamparnya saat sadar telah menyinggung perasaan Ginatri.

"Leo, jika...," Ginatri menghentikan ucapannya dan menatap Leo ragu.

"Kenapa?"

"Tidak. Bukan apa-apa," ucapnya dan berbalik. Mengusir pikiran buruk yang sempat hadir dipikirannya. Di luar, gerimis kembali hadir dengan angin yang membawa dingin. Ginatri memeluk tubuhnya. Seharusnya hujan membuat suasana sejuk mengingat kota udang merupakan kota terpanas. Namun, terasa dingin hingga menusuk tulang bagi Ginatri. Sadar jika Ginatri kedinginan, Leo berjalan dan menutup jendela, tapi tetap membiarkan pintu terbuka. Dia berbalik dan menatap Ginatri sekilas.

"Apa aku bisa minta segelas teh hangat sebelum pulang?" pinta Ginatri yang membuat Leo terdiam. Jika boleh jujur, Leo ingin bersamanya. Namun, dia juga takut jika kebersamaan itu membuat harapannya kembali hadir. Membuai, memaksanya untuk menahan gadis yang kini masih berada di hatinya untuk tinggal. Leo masih membisu. Menimbang permintaan Ginatri yang terasa ringan, tapi bisa membuatnya goyah. Ayolah, hanya satu gelas teh saja tidak akan membuatmu lupa. Apa harga diri mu hanya sebatas itu hingga kamu tidak bisa menahan diri? Sisi batinnya mengejek Leo.

Anak PelakorWhere stories live. Discover now