32. Bohong

1.2K 146 11
                                    

"Aku akan mengakhiri semuanya!"
Aida menatap Ginatri tajam. Sejak subuh, keponakannya itu sudah berkali-kali menghubunginya dan memintanya untuk bertemu. Terus memintanya tanpa sabar. Dia pikir, dia akan mendapat berita bagus, tapi....

Yang dia dapatkan malah berita buruk. Aida melipat tangan di dada dan menatap Ginatri angkuh. "Kamu memanggilku tidak sabar hanya untuk ini? Serius? Ayolah Gina, bibi tahu kamu tidak akan sebodoh itu untuk menyerah. Kamu tidak mau membalas dendam ibumu?" tanyanya lagi. Mencoba untuk membuat goyah.

Ginatri menunduk. Dia memainkan ujung sedotan miliknya. Hatinya ragu. Rasa bersalah membuatnya ingin mundur. Namun, dorongan untuk membalas dendam ibunya begitu kuat.

Aida tersenyum melihat keraguan Ginatri. Dia meraih tangannya dan tersenyum. "Gina, kamu tidak ingin apa yang seharusnya menjadi milik ibumu direbut bukan? Bibi yakin, jika ibumu masih ada, dia akan berusaha untuk mempertahankan semuanya. Lihat, bukankah kamu sadar jika ayahmu hanya berpihak pada Gya?"

Ginatri mendongak. Dia menatap Aida dan menarik tangannya pelan. "Mama dan Gya tidak seperti itu," lirihnya pelan.

Aida berdecak. "Kamu sendiri bahkan ragu dengannya bukan? Lantas, untuk apa kamu mempertahankan mereka dan membela mereka? Mereka yang membuat Bundamu menderita," rayunya lagi.

Ginatri menggeleng. "Aku tahu. Aku bisa merasakan kasih sayang Mama, Bi. Aku tahu Gya juga bukan orang yang suka merebut milik orang lain. Justru... Justru, aku yang...." Ginatri tercekat. Tidak mampu meneruskan ucapannya. Wajahnya memanas.

Aida menghela napas lelah. "Dasar lemah!" serunya dengan melihat Ginatri remeh. "Kamu tidak percaya pada bibimu, heh? Bibi yang membesarkan mu saat kamu masih kecil. Bibi juga yang banyak membantu ibumu dulu. Tidak mungkin bibi menjerumuskanmu. Jika kamu membiarkan mereka, lambat laun, mereka akan menguasai ayahmu dan membuangmu!"

Ginatri menggeleng. "Aku akan tetap mengakhiri semuanya. Aku akan mengatakan pada papa untuk membatalkan tunangan dengan Bian dan jujur pada Gya." tekadnya bulat.

Aida melotot. "Apa kamu sudah Gila? Apa yang akan papamu lakukan jika dia tahu yang sebenarnya?"

Ginatri diam. Bohong jika dia tidak takut pada Rama. Namun, tekadnya bulat. Dia tidak akan membiarkan masalah ini berlarut dan membuatnya jatuh dalam rasa bersalah yang menyiksa. Jika nanti Gyandra dan ibu membencinya setelah dia jujur, maka dia akan menerimanya. Tidak ada hal baik yang terjadi tanpa resiko. Pun jika Rama mengusirnya maka dia akan terima. Apapun itu, dia akan menerimanya.

"Kamu yakin mereka menyayangimu?"

Diam. Ginatri tidak membalas ucapan Aida. Pikirannya kacau. Otaknya buntu. Jelas dia sedang kalut, tapi dia tidak ingin Aida membuatnya ragu lagi. "Aku tidak tahu. Namun yang pasti, aku akan menerima resikonya. Termasuk jika aku harus diusir dari rumah."

"Terserah kamu sajalah! Jangan cari bibi jika kamu menderita! Lihat saja nanti. Tunggu sampai mereka membuangmu biar kamu tahu rasa!" sewotnya dan pergi meninggalkan Ginatri sendiri.

Ginatri menghela napas. Ada rasa sakit saat dia melakukannya. Matanya memanas. Jika boleh, dia ingin menangis untuk melepas semuanya. Namun, dia memutuskan untuk menahan.

"Kakak?"

Ginatri menoleh. Dia terkejut saat mengetahui ada Gyandra di sebelahnya. "Gya, a... Apa yang kamu lakukan? Kamu gak kerja?" tanyanya terbata.

Gyandra tersenyum. "Kakak sibuk yah. Ini 'kan jam makan siang. Kakak sama siapa?" tanyanya saat melihat ada banyak porsi makanan yang di meja Ginatri, tapi tidak menemukan siapapun selain kakaknya.

Ginatri tersenyum. "Tadi ketemu bibi sebentar. Kamu gak ketemu bibi saat keluar?"

Gyandra menggeleng kuat. "Amit-amit lah kak. Jangan sampe ketemu. Bisa-bisa nanti Gya kena amuk lagi," keluhnya.

Anak PelakorWhere stories live. Discover now