•01 | Welcome To My World, Amaryllis•

762 105 2
                                    

•••

Suara berbagai hewan malam bersahut-sahutan kala sang dewi malam menampakkan dirinya. Tak lupa ditemani taburan lintang yang berkedip nakal di langit. Sesekali, silir angin malam menelusup tanpa izin melalui celah setiap rumah yang ada. Sama halnya seperti celah jendela yang terbuka dari kamar gadis berkulit seputih salju itu.

“Kenapa bisa gini?” lirihnya sembari menghapus aliran air mata yang menetes kembali.

Netra hijau cerahnya menutup, mencoba menetralisir rasa sesak yang menghantam dada. Tidak, ia tidak sedih karena patah hati atau hal lainnya. Ia hanya sedih saat membaca buku novel berjudul ‘Evanescent Felicity’. Meskipun sebenarnya buku itu sudah tamat dibacanya dari series ke series, tapi tetap saja ia tak pernah bosan untuk membacanya.

“Amaryllis, kasihan banget, ya? Nggak sadar kalau cinta pertamanya bukan Baltsaros, tapi Androcles. Kok, penulisnya seenak jidat bikin alur sad gini, sih? Jadi banyak bawang, ‘kan, di mata.” Gadis itu mendengkus, mencoba mengubah suasana hatinya yang tengah dirundung awan mendung itu.

“Nama tokohnya sama lagi! Ternistakan My nama, oh no!”

Amaryllis, gadis itu berguling di atas kasurnya ke sana kemari. Kebiasaan setelah membaca tamat semua series Evanescent Felicity, mulai dari buku cerita bergambar, novel, sampai komik. Entahlah, baginya cara itu adalah hal yang mudah untuk melupakan kebaperannya setelah terhanyut dalam cerita novel.

Setelah puas, ia langsung bangkit dari kasurnya. Tak lupa diambilnya jaket untuk menghalau hawa dingin di tengah malam.

Logikanya waktu tengah malam begini, pasti dipakai orang untuk beristirahat. Bahkan, banyak di antara mereka yang sudah menjelajah ke alam mimpi. Namun, tidak dengan sosok Amaryllis. Gadis itu memilih untuk mengendap diam-diam ke luar rumah demi menemui ayah dan ibunya.

‘Ayah, ibu … Amaryllis datang.’ Amaryllis menyunggingkan senyuman senangnya setelah berhasil pergi dari rumah tanpa ketahuan oleh om-nya.

***

“Ayah, ibu … apa kabar? Di sana, nggak dingin, ‘kan?”

Ditatapnya teduh dua batu nisan yang terdapat nama kedua orang tuanya itu. Normalnya, orang akan menangis. Menyuarakan rasa rindu dan kehilangan karena telah ditinggalkan oleh orang yang disayang. Namun, berbeda dengan Amaryllis. Gadis itu malah tersenyum manis di bawah sinar sang dewi malam.

“Di sini, aku baik-baik aja. Ya, meskipun tempramen om nggak pernah sembuh, tapi nggak apa-apa. Ayah sama ibu nggak usah khawatir, aku sehat dan bisa jaga diri.” Lagi, Amaryllis kembali membuka suaranya. Meskipun ia tak akan pernah mendapatkan balasan, tak apa. Setidaknya, rasa rindunya telah tercurahkan dengan berbicara sendiri di hadapan persinggahan terakhir dari kedua orang tuanya itu.

Netra hijau cerah milik Amaryllis kali ini menatap sinar sang dewi malam. Tak lupa hatinya ikut melantunkan doa untuk kedua orang tuanya yang telah tiada 10 tahun silam. Ya, saat usianya 7 tahun, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Membuat ia akhirnya harus tinggal dengan om yang tempramental.

“Boleh nggak Amaryllis ketemu kalian?” lirih Amaryllis sembari melihat luka di telapak tangannya yang membiru.

Sebenarnya, Amaryllis sama sekali bukanlah sosok yang mudah atau sering mengeluh. Namun, bukankah ia sendiri adalah manusia biasa? Saat kenangan tentang kedua orang tuanya mampir dalam memori serta realita hidup yang selalu dirundung kekerasan oleh om-nya sendiri, haruskah ia tetap tegar?

‘Apa aku bisa menyusul kalian dengan cepat?’

***

Suara pecahan benda berbahan kaca terdengar begitu kentara di kamar milik gadis berusia 18 tahun itu. Sesekali, suara pukulan serta benturan ikut terdengar ngilu. Definisi sebuah penyiksaan? Bisa jadi.

Evanescent Felicity [On Going]Where stories live. Discover now