•32 | I'm (Not) Scared•

299 56 20
                                    

•••

Semenjak kedatangan Raja Damon, gadis bersurai cokelat gelap itu pikir jika dirinya akan dibebaskan. Sialnya, ia malah berharap pada manusia yang sepertinya patut diragukan identitasnya itu. Bagaimana tidak? Pria tua itu sudah pasti tidak akan luluh mendengar keluh kesahnya yang sebisa mungkin akan membuat siapa pun merasa prihatin.

Tidak masalah, tidak masalah. Masih ada waktu tiga minggu lagi, ‘kan? Ya, Amaryllis sudah menargetkan hidupnya hanya akan tinggal di penjara selama sebulan. Itu maksimalnya, sih. Hei, meskipun ia nyaman tinggal di sini, tetap saja. Perutnya perlu diisi oleh makanan yang sehat dan bergizi.

‘Nanti kasihan Androcles kalau nikah sama gadis manultrisi!’ Begitulah pikir sang gadis.

Saat asyik memikirkan masa depannya, indra pendengarannya menangkap suara langkah kaki yang mendekat. Di tengah cahaya obor nan remang-remang, gadis itu berusaha menangkap visual lelaki kecil yang kini berdiri di hadapannya.

“Kakak …,” lirih sang lelaki dengan mata yang berkaca-kaca.

Refleks, Amaryllis mengernyitkan keningnya. Ia pun mendekat ke jeruji besi, berusaha untuk menangkap siapa sosok yang ada di hadapannya. Maklum, hari sudah malam. Lalu, siapa yang berani datang kemari? Bukankah Raja Damon telah memerintahkan siapa pun untuk tidak menginjakkan kaki ke tempat ini saat hari sudah malam, sekali pun prajurit yang menjaga?

“Mikhail?” Amaryllis menatap tak percaya. Whoah! Apa benar yang sedang dilihatnya ini?

Ya, Mikhail Hedona Ilarion de Astrofengia. Ia adalah anak dari salah satu selir Raja Damon, sayangnya ibunya telah tewas setelah melahirkannya. Lalu, entah bagaimana caranya, anak berusia sepuluh tahun itu bisa datang kemari.

‘Anak kecil seharusnya sudah tidur di jam segini, ‘kan?’

Amaryllis masih menatap bingung anak kecil bersurai cokelat cerah itu. Netra hijau cerahnya terus berpendar ke sana kemari, berusaha mencari seseorang yang mungkin tengah bersama Mikhail. Dan … aha! Ternyata benar, ada pria jangkung yang menemani Pangeran kecil itu.

“Pangeran Adelino? Kenapa kau kemari bersama Pangeran Mikhail?” tanyanya dengan raut tak suka.

Adelino, pria yang sejak tadi memang menjaga jarak agar tak ketahuan lantas tersedak ludahnya sendiri. Hei, di tengah cahaya yang remang-remang ini adiknya masih bisa mengenalinya? Mendadak ia jadi merinding sendiri.

Melangkah mendekat, netra hijau kelamnya menghunus tajam tepat di netra hijau cerah milik sang gadis. Sembari menyilangkan kedua tangannya di dada, ia tersenyum begitu tipis. “Ingin melihat nasibmu yang begitu miris. Hitung-hitung agar mimpiku damai.”

Amaryllis mendengkus, lalu berdecak sebal. Baru saja ia akan melayangkan kalimat protes, rengekan dari Mikhail membuatnya mengurungkan niat.

“Bolehkah Khail memanggilmu ‘Kakak’?” cicitnya sembari menunduk. Bahkan, kini kedua tangannya sibuk meremas baju tidur yang dipakainya.

Dapat Amaryllis lihat tubuh kecil milik Mikhail yang sedikit bergetar. Apa mungkin anak laki-laki itu ketakutan? Ah, ia lupa jika anak bungsu dari Sang Raja Astrofengia memiliki rasa trauma saat berinteraksi dengan orang lain.

Mau tahu alasannya? Ya, penindasan yang dilakukan oleh Ratu Eleanor-lah yang mengawali rasa trauma bagi Mikhail. Membuat tak sedikit pelayan pun memperlakukannya tak adil dan kasar. ‘Harus dimusnahin orang-orang laknat yang kayak begitu, sih.’

Evanescent Felicity [On Going]Where stories live. Discover now