•33 | Warmth•

151 29 10
                                    

•••

Tubuhnya masih bergetar. Bibirnya pun tak bisa terkatup rapat. Namun, setelah merasakan hangatnya sebuah pelukan, membuat getaran di bibirnya mulai menghilang. Tubuh yang semula menggigil pun, perlahan berangsur tenang. Terutama saat indra penciumannya menangkap aroma menenangkan yang begitu familiar ini.

“Androcles …,” lirih Amaryllis yang kini mulai membalas pelukan sang pria.

Pria itu hanya diam, tetapi ia kian mengeratkan pelukannya. Dikecupnya beberapa kali puncak kepala sang gadis. Berusaha untuk terus mengantarkan rasa nyaman dan ketenangan di sana.

“Jangan takut … aku di sini,” bisiknya dengan suara berat nan menenangkan.

Cukup lama mereka berdua dalam posisi saling memeluk, hingga akhirnya Amaryllis mulai mengurai pelukannya. Ditatapnya netra sebiru langit milik sang pria penuh tanya. Ia masih bingung, apa yang di hadapannya ini benar Androcles atau hanya imajinasinya saja?

Pria itu menyeringai tipis. Ia lantas mendekatkan wajahnya yang tertutup topeng perak itu ke arah sang gadis. Refleks, Amaryllis menutup matanya saat jarak mereka benar-benar dekat.

Disertai debaran yang menggila, gadis itu tak bisa menahan diri untuk tak tersenyum. Namun, senyumannya sirna saat kedua kelopak matanya yang basah akibat air mata sempat membanjiri, ia merasakan sebuah kecupan mendarat di sana. Ya, pria itu dengan lembut mengecup kedua matanya bergantian.

“Aku tidak tahu kalau kau cengeng, Amaryllis.” Pria itu tersenyum culas.

Amaryllis, gadis itu perlahan membuka matanya. Ia tak bergeming. Masih menatap tak percaya dengan sosok yang ada di hadapannya. ‘Androcles? Dia bisa bersikap sweet begini? Benarkah?’

“Jangan menangis, wajahmu terlihat sangat jelek kalau menangis.” Lagi, pria itu kembali menginterupsi. Tak lupa sembari tersenyum begitu tipis. Namun, ada yang aneh dari tatapannya. Entah kenapa gadis itu merasa tatapan yang diberikannya begitu teduh nan sendu.

“Kau … Androcles? Suami masa depanku?” tanya Amaryllis dengan wajah tak percayanya. Sungguh, ia agak terkejut dengan perubahan sikap sang pria. Meskipun kalimat dari pria itu mengandung ejekan, tetapi sikapnya … kenapa aneh?

Androcles, pria itu lantas membuka topengnya. Membuat wajahnya kini terpajang sempurna di hadapan sang gadis. Senyuman yang semula tipis, kini berganti dengan senyuman hangat. Ya, senyuman yang mampu membuat para gadis menjerit atau bahkan meleleh karenanya.

Namun, aneh. Amaryllis malah memekik ngeri. Ia kini kian beringsut mundur. Tak lupa sembari menutup kedua matanya menggunakan kedua tangannya. ‘Apa dia setan Androcles?’

Androcles yang mendapatkan tanggapan demikian langsung menghela napas beratnya. Ia pun menjitak cukup keras kepala sang gadis hingga empunya mengaduh kesakitan. “Apa yang kau pikirkan, heh?”

Amaryllis mendelik kesal sembari mengerucutkan bibirnya. “Tentang dirimu yang aneh,” jawabnya. “Apa kau benar Androcles?”

Menaikkan sebelah alisnya, Androcles tersneyum culas. Ia geleng-geleng kepala sembari menyentil pelan kening sang gadis. “Kau pikir siapa? Apa kau mengharapkan orang lain untuk datang kemari?”

Amaryllis mengernyitkan keningnya tak suka. Baru saja akan melayangkan kalimat protes, ucapannya harus tertelan saat pria itu kembali membuka suaranya.

“Kau tidak membalas suratku. Aku khawatir kau sudah menjadi roh yang gentayangan.” Androcles menjeda kalimatnya. “Ternyata kau malah di sini. Seperti kucing yang ketakutan,” imbuhnya sembari tersenyum mengejek.

Evanescent Felicity [On Going]Where stories live. Discover now