•04 | Black Shadow•

490 85 0
                                    

•••

Sang bagaskara mulai menampakkan diri. Meninggalkan kesan indah saat cahayanya berpendar di penjuru bagian bumi. Jika dilihat dari atas pegunungan, tentu cahayanya banyak diburu orang sebab kelangkaan dari arti cahayanya saat ini. Sunrise? Sebut saja begitu.

Sama seperti gadis bergaun pink sederhana itu. Biasanya ia tak pernah bangun lebih awal. Jangankan melihat sunrise, akibat dirinya yang bekerja di pukul 10.00 WIB, hanya ada sinar bagaskara yang terasa menyengat di kehidupan sebelumnya. Miris memang.

Mendengkus, gadis itu kini sibuk menggosok kedua telapak tangannya yang terasa dingin. Tinggal di daerah terpencil serta dekat dengan pegunungan, tentu suasana pagi pasti hawanya menusuk ke tulang rusuk.

Tidak, ia sama sekali tak masalah dengan hawa dingin yang menerpa tubuhnya. Hanya saja, ia kesal karena tak bisa tidur saat tengah malam sampai detik ini. Entahlah, batinnya selalu terusik dengan misi ‘gagalnya’ kemarin.

“Nemuin pria kayak gitu, apa beneran ada? Kok, kemarin nggak ketemu, sih?” gerutunya sembari menatap langit yang tengah memancarkan keindahan mahkota sunrise.

‘Amaryllis … ngejar pria yang nggak dikenal, kayaknya mustahil.’

Merasa sudah berdiam diri cukup lama di luar rumah, Amaryllis akhirnya memutuskan untuk bangkit dari duduknya. Sembari menghela napas panjang, ia menutup mata sejenak. Berusaha merilekskan pikirannya yang sudah lama dirundung kalut. Berharap ia menemukan secercah solusi.

“Nona!” panggil seseorang yang membuat konsentrasinya buyar seketika.

Berdecak kesal, Amaryllis menoleh dengan pandangan tanya. “Hm?”

“Nona, saya cari sedari tadi, ternyata ada di sini. Nona seharusnya jaga kondisi, jangan sampai kedinginan. Nona tahu, sejak kemarin hawanya lebih dingin dari hari biasanya. Nona seharusnya pakai pakaian tebal, bukan begi—”

“Deidamia ....” Amaryllis tersenyum penuh arti, membuat pelayannya menunduk diam.

Menghela napas, Amaryllis kembali berkata, “Sudah aku bilang, jangan perlakukan diriku seperti anak kecil. Paham?”

Entah bagaimana, seketika hawa dingin dari pagi hari sama sekali tak dirasakan lagi oleh Deidamia. Gadis berusia 20 tahun itu malah merasa tertekan. Suasananya … mengapa jadi penuh intimidasi? Padahal bisa dibilang, jika Sang Putri hanya mengatakan hal yang biasa. Namun, kenapa?

“Paham, Nona. Maaf, saya kelewatan,” ujar Deidamia yang membuat Amaryllis tersenyum tipis.

“Oh, ya, sarapan bisakah kau sajikan daging? Aku ingin memakannya pagi ini.”

Sontak Deidamia mengerutkan keningnya bingung. Tidak biasanya Sang Putri meminta makanan berbahan daging. Terutama dimakan saat sarapan. Jujur saja, Sang Putri tidak terlalu menyukai makanan berbahan daging. Katanya, ia terlampau kasihan dengan hewan yang dibunuh, lalu dimakan begitu saja.

Amaryllis yang tahu arti tatapan Deidamia hanya menggaruk pelan pipi kanannya. Ia sebenarnya tahu jika Putri Amaryllis tak terlalu menyukai daging. Namun, apa daya saat tubuhnya membutuhkan asupan makanan dengan gizi yang seimbang? ‘Aku nggak mau, ya, tumbuh jadi gadis yang pendek sama kekurangan gizi!’

“Hewan ada untuk menjadi salah satu makanan manusia, jadi … kau mengerti, ‘kan?” Amaryllis terkekeh kikuk.

Tak ingin bertanya lebih lanjut, Deidamia pun mengangguk. Toh, memang benar apa yang dikatakan oleh tuannya itu. Hewan itu ada untuk menjadi salah satu makanan manusia yang merupakan hukum alam dari Sang Pencipta.

Evanescent Felicity [On Going]Where stories live. Discover now