•03 | Who Owns This Mask?

503 88 4
                                    

•••

“Deidamia, kita akan mulai berkebun hari ini!” seru gadis bersurai panjang cokelat gelap itu. Netra hijau cerahnya saat ini masih terpaku ke perabotan yang biasa dipakai untuk berkebun.

Deidamia, sang pelayan pribadi Putri Amaryllis hanya menghela napas panjang. Sebagai seorang pelayan, tentu ia menginginkan hal yang terbaik untuk tuannya. Terlebih, bagaimana bisa dirinya merepotkan Sang Putri?

“Nona, biar saya saja yang bekerja. Nona tidak usah memikirkan hal lainnya,” tolak Deidamia secara halus.

Sontak, tatapan penuh tak suka dilayangkan oleh Amaryllis. “Tidak! Aku ingin berkebun di sini, lumayan untuk memangkas pengeluaran kita.”

Tak ingin berdebat panjang, akhirnya Deidamia menyerah. Sejak tadi pagi pun Sang Putri sudah menjawab sanggahannya dengan jawaban yang sama. Bahkan, hasil akhir dari perdebatan pun sama. Di mana Amaryllis yang selalu menang.

“Kau bekerja siang ini? Kalau begitu, biar aku yang urus semua. Nanti setelah pulang dari kota sana, sisanya kau urus, ya?” Amaryllis tersenyum tipis, membuat Deidamia menatapnya tak enak.

‘Biar tubuh aku nggak kekurangan gizi, olahraga kayak gini juga penting, ‘kan?’ batin Amaryllis miris.

“Sudahlah, lebih baik kau pergi sekarang. Mau dipecat di hari pertama bekerja?” ujar Amaryllis, lalu terkekeh kecil.

Lagi dan lagi, Deidamia menyerah. Ia memang sudah tahu sifat Sang Putri yang keras kepala. Namun, agaknya tak pernah sekeras ini. Ah … ia melupakan fakta alasan Sang Putri yang menjadi seperti ini.

Ya, kemarin Amaryllis mengirim pesan ke kerajaan yang menyatakan persediaan mereka yang menipis. Namun, pesan balasan yang didapatkan hari ini hanyalah sindiran secara halus untuk Sang Putri. Di mana pesannya menyatakan sosok Putri Amaryllis yang berfoya-foya dan sebagainya. Bahkan, mereka mendapatkan hukuman tidak akan pernah diberi persediaan selama setengah tahun ke depan.

‘Udah dituduh tanpa bukti, dikasih hukuman tanpa buat salah. Wah … hidup kamu nggak adil banget, ya, Amaryllis?’ Amaryllis tersenyum miris.

Akhirnya, Deidamia pamit untuk pergi bekerja di salah satu toko kue yang ada di kota terdekat dari pedesaan ini. Jika boleh jujur, berat bagi Deidamia meninggalkan Sang Putri sendirian. Namun, mau bagaimana lagi saat tuannya sendiri yang menyuruhnya.

Sepeninggal sang pelayan, senyum lebar seketika terbit di wajah cantik milik Amaryllis. Lega rasanya ia tak diawasi oleh Deidamia. Terutama alasan sebenarnya mengapa ia yang ingin berkebun. Menemukan sosok pria yang memberinya topeng penahan kutukan.

“Aku yakin, pasti dia bukan orang sembarangan,” bisik Amaryllis dengan tatapan misterius.

Entah kenapa, sejak kemarin ia memikirkan hal ini pasti akan berujung ke kesimpulan di mana pria itu bukanlah ‘orang sembarangan’. Alasannya? Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui identitas serta kutukannya. Lalu, pria itu? Apakah sebelumnya Putri Amaryllis pernah bertemu dengannya? Jika iya, maka ia harus segera memecahkan misteri ini untuk mengusir rasa penasaran yang menggebu di dada.

***

Menggarap tanah agar bisa ditanami tumbuhan sampai menanam beberapa jenis tumbuhan yang setidaknya dapat digunakan untuk makanan sehari-hari, sudah dilakukan oleh gadis bergaun cokelat sederhana itu. Meskipun matahari bertahta di atas kepala manusia yang membuat hawa panasnya terasa, tak menyurutkan sedikit pun semangat dari sang gadis. Yah, walaupun keringat bercucuran di keningnya cukup membuat bibir mungilnya menggerutu tak jelas.

Merasa kelelahan, akhirnya ia memilih untuk berteduh di bawah pohon yang rindang. Duduk, lalu mengipas-ngipasi dirinya menggunakan topi untuk berkebun. Berharap rasa panasnya sedikit terobati.

“Pengap juga berkebun sambil pakai topeng kayak gini. Amaryllis, malang banget nasib kamu.” Lagi, Amaryllis kembali menggerutu.

Dalam hati, Amaryllis bersyukur karena telah menyelesaikan kegiatan berkebunnya dengan cepat. Untung saja skill berkebun ia dapatkan di kehidupan pertamanya. Akibat sang om yang tak pernah memberinya jatah untuk makan, mengharuskannya untuk berkebun di halaman belakang rumah.

Menatap ke langit, embusan napas berat keluar dari hidung kecil nan mancung milik Amaryllis. Sebenarnya ia cukup malas untuk pergi keluar dari daerah tempat tinggalnya ini. Terutama tempat tinggalnya yang berada di dekat pegunungan dan cukup jauh dari tempat tinggal para penduduk. Benar-benar malas, tapi apa daya jika ia ingin menemukan pria itu?

Deidamia kemarin memberitahunya, jika pria itu tinggal tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya ini. Bahkan, tempat tinggalnya pun tidak dekat dengan tempat tinggal para penduduk di desa. Membuat ekspektasi Amaryllis seketika melambung. Ia harap bisa menemukan pria itu sebelum senja tiba.

‘Bertopeng perak dengan taburan kristal berwarna biru langit yang cerah. Rambut juga warna abu-abu cerah yang indah. Hm, ciri-ciri itu nggak terlalu lebay, ‘kan, buat manusia biasa?’ Amaryllis mengernyitkan kening bingung.

Tak ingin membuang waktu, ia pun memutuskan untuk mencari pria itu berdasarkan ciri-ciri yang Deidamia katakan kepadanya. Meskipun sebenarnya ia ragu apakah ciri-ciri pria itu benar adanya.

Ayolah, mengapa penggambarannya bak dunia isekai dalam anime atau animasi Jepang? Oke, Amaryllis memang pecinta anime sejak usia 15 tahun. Mungkin efek sang ayah yang dulunya pun seorang pencinta anime, jadinya menurun kepadanya?

Ya, ia lahir dari keluarga blasteran di mana ayahnya orang Eropa-Indonesia dan ibunya orang Indonesia asli. Tentunya ia tinggal di Indonesia, ya, sebab kedua orang tuanya yang memilih untuk tinggal di negara tersebut.

Oke, back to story … intinya alasan mengapa ia cukup semangat hari ini ialah karena penggambaran seorang pria tampan 2D terpahat di pikirannya. Ekspektasinya terlalu mengkhayal memang.

***

Silir angin terasa menyegarkan saat menyusuri pedalaman hutan yang terdapat jajaran pepohonan sejauh mata memandang. Sinar matahari yang tadi terasa menyengat, saat ini tak begitu terasa sebab pohon telah menjadi payung alaminya. Benar-benar menenangkan rasanya apalagi kicauan beberapa burung terdengar merdu. Ah, Amaryllis jadi betah berada di sini.

Sudah terhitung hampir 3 jam lamanya ia menyusuri daerah ini. Namun, sama sekali tak menemukan adanya sebuah tempat tinggal di sekitar. Jika ia melangkah lebih jauh lagi ke depan, maka yang ditemukannya ialah tempat tinggal dari para penduduk. Di mana area itu adalah area terlarang untuknya.

Merasa buntu, Amaryllis memilih untuk duduk di batu besar yang berada di dekat sungai itu. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak demi memulihkan energinya. Apalagi kakinya yang terasa sakit, seperti mau copot. Bak meminta sang tuan untuk diistirahatkan memang.

Mengembuskan napas lega, disandarkan tubuhnya di batu besar itu. Sembari menutup mata, ia menikmati dengan tenang tiap silir angin yang membelai pipi. Hingga tanpa sadar, dirinya dibuai ke alam mimpi. Begitu nyenyak dan damai.

Di sisi lain, terlihat sosok pria bertubuh tinggi nan tegap. Pria yang memakai penutup wajah itu sejak tadi selalu setia memperhatikan sang gadis dari kejauhan. Tidak, ia sama sekali tak berniat jahat. Ia hanya ingin memastikan keadaan dari gadis jelita itu. Di mana Sang ‘Princess’ yang sudah lama ditunggu kedatangannya.

“Aku menunggumu, Ilys ....” Setelah mengucapkan hal itu, sang pria langsung menghilang di balik bayangan pohon. Bersamaan dengan cahaya berwarna biru keputihan, benar-benar lenyap tanpa meninggalkan jejak.

•••

[TBC]

Hai, apa kabar? Bagaimana dengan part ini? Adakah yang sudah menunggu? Suka nggak?

Uwu ... jangan lupa vote dan comment, ya! Jangan jadi siders lho guys!^^

Okelah, see u next part! Salam Samyang, Cyra Ashaline

Bandung, 04 June 2021

Evanescent Felicity [On Going]Where stories live. Discover now