•17 | Shock•

242 60 19
                                    

•••

Mengerjap pelan, perlahan tapi pasti netra hijau cerah itu mulai terbuka. Menampilkan samar-samar kondisi ruangan yang terlampau asing baginya. Seharusnya, saat ini ada orang di sekitarnya. Namun, kenyataannya tak ada.

Meringis, dipegangnya pelan kepalanya yang terasa pening. Tak lupa netranya kini beralih ke sana kemari demi mengecek tempat apa ini. Jujur, ia tak ingat apa pun selain dari dirinya yang diserang bandit lalu pingsan.

“Androcles?” lirih Amaryllis sembari berusaha untuk duduk menyandar ke kepala ranjang.

Inginnya, sih, Amaryllis langsung pergi dari tempat yang asing nan megah ini untuk mencari keberadaan pria itu. Namun, saat lengan bagian kanannya terasa nyeri, alhasil ia harus mengurungkan niat. Rasanya nyerinya ini menembus hingga ke tulang.

Tiba-tiba, pintu dengan sentuhan corak rumit nan megah itu terbuka. Menampilkan sosok pria bersurai hitam legam dengan wajah ramahnya. Pria itu tersenyum, bak tanda sapaan untuk sang gadis.

“Syukurlah kau sudah sadar, Ilys. Bagaimana keadaanmu? Masih sakit?” tanya pria itu yang membuat Amaryllis tersenyum tipis.

“Lucian, di mana Androcles?” Bukannya menjawab pertanyaan dari Lucian, Amaryllis malah mengajukan pertanyaan lain.

Mendengar pertanyaan dari gadis kecil itu, Lucian mendengkus dibuatnya. Ia tak habis pikir dengan tingkah laku dari Amaryllis. Masih kecil, tapi ambisinya untuk mendapatkan Sang Pangeran begitu besar.

“Pangeran sedang ada urusan kerajaan,” jawab Lucian.

Amaryllis mengangguk-angguk. Ia memahami kepergian Androcles tanpa pamit. Toh, memang tugas seorang Putra Mahkota itu cukup berat.

“Berarti, aku sedang berada di Istana Heliac?” Membulatkan mata terkejut, Amaryllis menatap ke arah Lucian.

Lucian hanya mengangguk sebagai jawaban. “Aku ditugaskan untuk menjagamu sampai Pangeran kembali. Tidak keberatan, ‘kan?”

Mencebikkan bibirnya, Amaryllis memilih untuk meniup-niupkan angin ke lengannya yang diperban itu. Jujur, semakin lama rasa nyerinya menjalar ke perih dan panas. ‘Sakit banget, oi!’

“Kau tahu? Aku lebih membutuhkan Androcles ketimbang dirimu,” ujar Amaryllis disela tiupannya.

Bukannya kesal, Lucian malah tertawa kecil. Sebenarnya ia sudah tahu jawaban apa yang akan keluar dari bibir mungil gadis itu. Ah … entah mengapa tingkah laku Amaryllis malah menjadi hiburan tersendiri untuknya. Menakjubkan.

Saat keduanya tengah asyik berbincang ria, kembali pintu terbuka. Menampilkan sosok gadis bergaun mewah bak seorang bangsawan. Gadis jelita dengan make-up yang cukup tebal itu tersenyum simpul sebagai tanda sapaannya.

Sontak, Lucian langsung memberi salam hormat. Ia kembali ke mode ‘kerjanya’. Tak ada kilat canda atau pun ramah seperti biasanya. Hanya raut wajah tegas, dingin, dan sikap formalnya sajalah yang kentara.

“Jadi … kau gadis yang dibawa oleh Pangeran?” Suara gadis bergaun semerah darah itu menginterupsi.

Amaryllis hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Mati-matian ia berusaha untuk menjaga mimik wajahnya dalam mode gadis kecil yang polos nan ramah. Bahkan, mati-matian juga mulutnya ia jaga agar tak keluar satu kata ‘kotor’ pun dari sana. Jujur, dirinya muak dengan ekspresi gadis bangsawan yang dibuat-buat itu.

Mengulurkan tangan ke arah Amaryllis, gadis itu berkata, “Salam kenal! Aku Cyrilla, tunangannya Pangeran Androcles.”

Sontak, ucapan dari gadis itu membuat Amaryllis tersedak ludahnya sendiri. Ia sangat terkejut dengan ucapan gadis bernama Cyrilla itu. Sungguh … kasus ini agaknya tak diceritakan sama sekali di buku ‘Evanescent Felicity’.

Evanescent Felicity [On Going]Where stories live. Discover now