•30 | Princess Amaryllis's Punishment•

280 46 13
                                    

•••

Apa yang bisa dikata saat ketidakadilan semakin menjadi? Didiamkan ... atau harus diperjuangkan? Keduanya sama-sama memiliki risiko yang cukup tinggi. Bagi gadis bergaun biru tua itu, menurutnya keduanya sangatlah merepotkan.

Ingin mengadu, tapi selalu dihiraukan. Tidak mengadu, tapi semakin menjengkelkan. Tidakkah hidupnya bagai buah simalakama?

Sudah terhitung 1 bulan lamanya Amaryllis tinggal di Istana Astrofengia. Meskipun mendapatkan ‘ketidakadilan’ di dalam istana, ia pun tidak boleh ‘dilepasliarkan’ keluar istana. Kebebasannya benar-benar dibatasi. Jika sudah begini, kepada siapa ia mengadu?

Berdecak kesal, Amaryllis menatap tak minat ke guru pengajar pianonya. Ia benar-benar jenuh. Selama sebulan, dirinya dilatih keras menjadi seorang gadis bangsawan tanpa jeda. Sekali pun letih menderanya.

‘Ayah sialannya itu ... benar-benar minta di-hih!’ Amaryllis memukul pelan kepalanya. Ia bisa jadi gila jika harus hidup seperti ini. Bak burung di sangkar emas ... kelihatannya memang cantik, tapi ternyata menyiksa.

“Bagaimana? Sudah kau lihat, ‘kan?” Lagi, suara pelatih menginterupsi.

Ditatapnya pria setengah paruh baya itu malas. Amaryllis tersenyum tipis, lalu berkata, “Sepertinya aku butuh istirahat sejenak, Tuan. Otakku rasanya mau meledak jika dipaksakan seperti ini.”

Mengangguk, pria itu lantas undur diri dari ruangannya. Meninggalkan Sang Putri sendirian di sana.

Sepeninggal pelatihnya, Amaryllis langsung memanggil Deidamia untuk masuk. Ia membutuhkan makanan untuk kembali mengisi energinya. Jujur saja, tadi pagi ia tidak sarapan. Alasannya? Pihak dapur yang ‘lupa’ menyiapkan sarapan untuknya.

“M-maaf, Putri. Makan siang sudah disajikan di ruang makan sejak satu jam yang lalu. Be-berhubung Putri tidak ke sana, sisanya langsung dibuang. Jadi ....” Deidamia tak berani melanjutkan kalimatnya. Ia menunduk, merasa tak becus sebagai seorang pelayan Sang Putri.

Menghela napas lelah, Amaryllis mengangguk paham. Sungguh, perutnya saat ini mulai terasa perih. Tak lupa kepalanya ikut pening.

“Em ... Putri, Putri Caldora meminta Anda untuk datang saat ini ke taman di kediamannya. Dia ingin mengajak Putri untuk ikut serta dalam acara pesta teh kecilnya.” Lagi, Deidamia kembali menginterupsi.

Mengernyitkan kening, Amaryllis menatap penuh curiga ke arah sang pelayan. “Begitukah?”

Deidamia hanya mengangguk sebagai jawaban. Membuat Amaryllis langsung bangkit dari tempat duduknya.

“Baiklah, ayo!” ajak Amaryllis sembari menarik tangan Deidamia.

Deidamia hanya diam, menurut. Berbanding terbalik dengan Amaryllis yang kini tersenyum senang. Otak cantiknya saat ini tengah memikirkan sesuatu.

‘Ada pesta teh, ada makanan. Akhirnya, bisa makan juga!’ batin Amaryllis kegirangan.

***

Memang benar, di pesta teh itu banyak sekali makanan. Meskipun hanya makanan ringan seperti kue-kue. Namun, tidak masalah. Bagi Amaryllis itu sudah cukup untuk mengisi perutnya.

Lalu, apa hal yang tengah dipermasalahkan oleh gadis itu? Dalang dari semua ini ... Putri Caldora.

Dipermalukan? Ia tak masalah. Dihina atau dicaci? Ia juga tidak masalah. Hanya saja, jika ia melihat seorang anak kecil yang dipermainkan seperti itu ... jujur, itu jadi masalah untuknya.

Hei, ayolah! Anak kecil laki-laki yang berusia sekitar 10 tahun itu harus dijadikan ‘mainan’ bagi Caldora. Di mana anak itu dihina lalu dirusak begitu saja mainannya. Bagaimana mungkin seorang putri Raja berbuat sedemikian rupa?

Evanescent Felicity [On Going]Where stories live. Discover now