40

482 37 6
                                    

Hello, long time no see

🍀

Minggu pagi.

Masih pukul delapan ketika Rena dan Edgar sudah berada di komplek pemakaman, berjongkok di sebelah pusara Hendrawan sembari merapal sebaris do'a. Beberapa menit berada di sana, kemudian beranjak menuju makam Ega yang terletak cukup jauh dari makam Hendrawan dan melakukan hal yang sama.

Hanya merapal do'a, tanpa berbincang, tanpa bermonolog di depan makam seperti yang terkadang diceritakan dalam cerita-cerita.

Pohon kamboja yang tertanam di beberapa titik lokasi pemakaman umum ini tengah berbunga. Ditemani sinar terik matahari pagi yang tidak begitu menusuk kulit membuat cuaca cukup menyenangkan dan berpengaruh baik pada suasana hati Rena. Menggantikan rasa kesalnya yang tadi pagi sempat muncul karena Edgar membangunkannya pagi-pagi di hari libur untuk pergi ke makam. Padahal sejak kemarin Rena sudah mencoba merayu Edgar untuk berziarah di sore hari saja. Tapi apa daya, jika Edgar sudah berkeras, dia akan tetap kalah.

"Bang, kata mamah Kakak sempet kasih uang buat biaya tanah makam ya?" tanya Rena pelan ketika mereka berjalan keluar dari komplek pemakaman.

"Iya, dia udah siapin ternyata. Dia kasih semuanya, uangnya masih cukup buat biaya tanah makam sampe beberapa tahun lagi. Yang kemaren itu, waktu Kakak kamu gak ada. Uang buat biaya pemakaman dan ini itu juga uang dia sendiri. Amanatnya gitu," jawab Edgar.

"Kapan kasih amanat ke Abang?"

"Kamu inget waktu Kakak dirawat di RS yang terakhir kali itu?"

"Hmm."

"Waktu kalian pulang Kakak cerita banyak, nyampein pesan, kasih amanat juga," ingatan Edgar melayang ke momen yang dia maksud. Seingatnya, itu adalah kali terakhirnya berbincang panjang lebar dengan Ega. "Dia bilang gak mau makamnya ditumpang, kalo misal uangnya habis minta tolong dibiayain. Kecuali kalo kita udah gak mampu bayar ya udah ditumpang aja gak apa-apa. Itu yang soal makam. Hhh, orang lajang normalnya nabung buat dana nikah kakak kamu malah nabung buat dana kematian."

Rena tidak menunjukkan reaksi apapun atas kalimat Edgar, tidak bisa memilah apa itu termaksud candaan untuk sedikit mencairkan suasana atau sindiran yang cukup menyakitkan. "Kakak udah ada firasat dari lama apa ya?" gumam Rena kemudian, sedikit membelokkan topik begitu saja.

"Kurang tau juga."

"Masalah uang makam itu, mamah juga gak tau sebelumnya?"

"Gak, mamah taunya waktu abang cerita kemaren. Kemaren kan Abang sampein ke mamah beberapa pesen Kakak."

"Kemaren mamah cerita yang soal barang-barang Kakak."

"Iya, itu juga."

Memang, tadi malam ketika Rena siap untuk tidur Arum mendatanginya ke kamar dan bercerita tentang percakapannya dengan Edgar. Mengatakan bahwa sang kakak sulung mendapat amanat dari si tengah untuk menyingkirkan, membuang, atau membakar semua barang peninggalannya yang memungkinkan untuk dilenyapkan. Dalam pemikiran mereka, mungkin jika Ega adalah sosok yang sehat sebelumnya, dia mau-mau saja menyumbangkan atau memberikan barang-barangnya yang masih bagus pada orang lain. Tapi berhubung dia pengidap Hepatitis C, jadi dia tidak ingin mengambil resiko membuat orang lain tertular -- ya meskipun tipe C lebih tidak mudah menular jika dibandingkan dengan tipe B.

Rena ingat, mata ibunya sempat memerah semalam ketika bercerita. Seolah meratapi nasib almarhum putranya, Arum berkata, 'Barang-barang Kakak itu bersih. Baju-bajunya, seprai, semuanya, mamah sendiri yang cuci. Udah gak ada virus hepatitisnya. Kalo misal mau dikasihkan orang gak apa-apa, toh buktinya bertahun-tahun kita berdampingan sama Kakak juga gak apa-apa. Padahal kalo dilihat dari kondisi pas ketahuan dia sakit, pasti sakitnya udah dari lama. Tapi kita gak apa-apa. Kakak harusnya gak perlu setakut itu'. Sementara Rena awalnya hanya diam mendengar hal itu. Menyadari bahwa sang kakak kedua ternyata benar-benar seseorang yang peduli pada orang lain, tidak ingin mereka mengalami hal buruk yang dia alami. Juga orang yang takut menyusahkan orang lain. Hingga dia yang awalnya ingin mendebat -- dengan berkata bahwa mereka lebih kebal karena pernah mendapat vaksinasi beberapa hari setelah Ega divonis sakit -- memutuskan untuk membujuk ibunya agar menuruti wasiat sang Kakak, berkata bahwa Kakaknya bisa jadi memiliki pertimbangan lain dan tidak mau mengambil resiko.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang