16

856 78 7
                                    

Dua minggu sudah berlalu dari terakhir kalinya Rena dan Edgar membicarakan tentang keinginan Rena untuk bekerja di tempat lain. Proses hitung stok sudah berakhir sejak kemarin lusa. Kini Rena hanya perlu menjaga agar stok barang-barangnya stabil. Dia sudah tidak terlalu sering dimarahi Edgar lagi. Biarpun beberapa kali Edgar masih sering menegurnya jika ada masalah dan berkaitan dengan stok barang. Misalnya kalau ternyata tanpa sepengetahuan Rena ada barang yang sudah terlalu lama mengendap di gudang mereka dan pada akhirnya rusak.

Terkadang, Rena kesal juga jika harus dihadapkan dengan hal semacam itu. Pasalnya, dia tahu Edgar lebih lama berada di toko dan lebih paham tentang seluk beluk toko. Tapi Edgar seringkali bersikap bahwa jika ada kesalahan -- entah itu berkaitan dengan barang yang tidak kunjung laku terjual atau kemalasan pekerja yang tidak mau menata barang sesuai permintaan Edgar dan Rena -- itu karena Rena gagal mengatur stok gudang dan pekerjanya.

Omong-omong, keputusan Rena untuk tinggal terpisah dan bekerja di tempat lain sudah bulat. Gadis itu sudah membicarakannya dengan Arum. Awalnya, jelas Arum sempat mempertanyakan. Karena jujur saja, dia tidak ingin terpisah dari anak bungsu kesayangannya. Tapi setelah Rena membujuk sedemikian rupa tentu saja Arum luluh. Meski jelas gadis itu tidak menyebutkan alasan sebenarnya tentang dia ingin bebas dari keluarganya.

Edgar dan Ega sempat menawarkan untuk mencarikan pekerjaan bagi Rena. Tapi Rena menolaknya. Bukankah keinginan awal dia menjauh dari keluarga? Jika dia menerima tawaran kedua kakaknya dan di tempat kerja barunya ada kenalan kakak-kakaknya bisa jadi dia gagal bebas.

Rena memutuskan mencari informasi lowongan kerja dari teman-teman sekolah dan kuliahnya. Rencananya, besok Rena akan mulai menyebar surat lamaran. Memanfaatkan jatah liburnya dari toko. Kali ini dia merelakan untuk tidak datang ke Magic Shop.

"Besok mau dianter?" tanya Ega.

"Dianter siapa?" Rena balas bertanya, menoleh pada Ega yang kini berbaring di ranjangnya.

"Aku."

"Gak usah aneh-aneh," sungut Rena. "Ntar pulang-pulang kolaps lagi."

Ega terkekeh, berguling hingga posisi tidurnya berubah menyamping, memeluk boneka panda seukuran badan milik Rena, "Ini boneka kok dekil sih," gumamnya pelan.

Yang sialnya masih bisa Rena dengar, walau untungnya gadis itu memilih untuk tidak mempedulikan.

"Dianter Asa mau?"

"Kakak ih...kenapa sih Bang Asa mulu?"

"Ya soalnya dia paling fleksibel waktu luangnya, mau gak?"

"Gak usah," Rena harus menolak kali ini, dia juga tidak ingin teman-teman Ega tahu dimana saja dia melamar. Sungguh, tekad Rena untuk menjauh dari keluarganya sudah bulat.

"Ya udah."

Menit-menit berlalu, Rena masih sibuk mengetik surat lamaran dan yang lainnya. Dia sempat menoleh sekilas ke arah ranjangnya dan mendapati sang kakak sudah terlelap sembari memeluk boneka panda yang sebelumnya dia hina. Seingat Rena, Ega memang menjadi semakin mudah lelah dan lebih sering tidur belakangan. Mungkin hepatitisnya semakin sering berulah, kasihan. Maka Rena hanya membiarkan lelaki itu menguasai ranjangnya, toh nanti dia bisa tidur di kamar Ega.

Pintu kamar Rena diketuk, Rena bahkan merasa tidak perlu menyahut karena kemudian pintu itu terbuka. Edgar mengedarkan pandangannya menelusuri kamar Rena, memandangi Ega yang terlelap di atas ranjang.

"Daritadi tidurnya?" tanya Edgar sambil mendekati Rena.

"Barusan. Mau apa?"

"Mau ada yang diomongin."

BIRUWhere stories live. Discover now