2

2.4K 149 14
                                    

Ada beberapa hal yang tidak pernah Rena mengerti belakangan, seperti misalnya : Apa kedua kakaknya itu tengah bertukar jiwa? Karena akhir-akhir ini Ega menjadi lebih sabar dan kalem dibanding Edgar.

Baiklah, sebenarnya sejak dulu Ega memang tidak sering terlihat marah-marah. Lelaki itu pendiam, sangat pendiam dan menjaga jarak hingga Rena segan bahkan hanya untuk menatap matanya atau bertemu dengannya -- faktanya mereka serumah namun jarang bertemu karena Ega lebih sering di kamar.

Sementara Edgar lebih ramah dan hangat -- itu juga pendapat warga sekitar. Tidak menolak juga jika dikatakan Rena lebih dekat dengan Edgar. Si bungsu itu lebih sering merajuk pada si sulung. Lebih sering bertengkar dan bermanja pada si sulung. Walaupun Edgar terkadang menyinggung tentang 'Alangkah menyenangkannya jika Rena juga lelaki' dengan nada seolah Edgar ingin membuat trio atau apa -- yang mungkin tanpa disadari kalimat itu Rena masukkan dalam hati dan sudah menjadi salah satu kegundahannya selama bertahun-tahun -- tapi dia tetap menyayangi Rena di saat-saat tertentu. Ya, walaupun di saat lainnya jika Rena melakukan kesalahan -- di matanya Edgar -- dan harus dihukum, dia pasti akan menghukum Rena.

Tapi beberapa saat belakangan, Rena rasa Edgar semakin berlebihan dan mencari-cari kesalahannya. Seperti Edgar sedang mencari pelampiasan untuk marah-marah dan dia memutuskan menjadikan Rena sasaran untuk ladang amukannya.

"Mbak?"

Panggilan itu membuyarkan lamunan Rena. Gadis itu menoleh, mendapati Dini -- salah satu karyawan yang membantunya mengurus stok barang di toko -- tengah menatapnya dalam.

Rena hanya menatap Dini tanpa mengatakan apapun, namun jelas dia bertanya lewat tatapan mata.

"Sebenernya kalo masalah stok kita selisih, dari dulu emang udah ada," ujar Dini.

"Iya mbak, kemaren mbak Elma juga udah bilang. Katanya dibenerin pun pasti bakal gitu bawaannya," sahut Rena.

"Iya, gak tahu gimana ya mbak. Ya mungkin cuma perasaan, tapi saya pikir kita kasih barang ya bener, kalo salah kan seringnya customer komplain. Lagian juga barang pasti dicek dulu sama mbak, pak Ega atau pak Edgar. Masuk di komputer juga pasti bener, kalo gak ya harusnya kita kasihnya salah juga," Dini terdiam sejenak, "Ya pasti masih ada salah, tapi kalo sampe banyak gini ya gak masuk akal."

"Mbak Elma bilang, katanya kita pernah inisiatif sendiri ya nuker barang buat benerin stok komputer. Jadi kalo barang A sama B selisih misalnya, buat genepin kita bikin nota isinya barang A tapi realnya kasih barang B. Nanti notanya tinggal coret manual."

"Iya, itu idenya Pak Ega dulu, pernah dilakuin. Tapi dilakuin ya tetep aja hari lain ada selisih. Satu barang bener eh lainnya selisih. Kadang yang awalnya gak selisih nanti-nanti bisa selisih."

Rena terdiam, jika memang dulu pernah ada hal semacam itu sebagai salah satu solusi, kenapa Edgar tidak pernah memberitahunya? Sebenarnya, Edgar ini ingin menguji atau menghukum Rena?

"Keliatannya gampang tapi ribet ya ngurus stok."

"Ya gitu mbak, sampe bingung mau diapain. Kita gak tahu darimana..."

"Gimana? Sudah hitung semua?"

Suara Edgar yang mendadak terdengar membuat Dini reflek menghentikan perkataannya. Tangannya kembali sibuk, berpura-pura tidak mendengar Edgar. Karena sejatinya Edgar memang bertanya pada Rena.

"Masih belum bang, masih kurang banyak," jawab Rena.

"Kalian gak sanggup kerjain berdua? Kenapa gak panggil orang lain?"

'Terus nanti kalo aku panggil orang buat bantuin dan bagian service depan kurang orang, aku disalahin lagi?' sahut Rena dalam hati.

"Enggak bang nanti malah depan kurang orang," jawab Rena, berusaha untuk tidak terdengar judes. Entah kenapa semakin kesini bukan sekedar rasa takut yang Rena miliki pada Edgar, melainkan rasa marah, kesal, kecewa dan seolah tidak mau berurusan dengan kakaknya.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang