35

1K 74 33
                                    

Note : Aku update lebih cepet , jadi selamat membaca 😉. Btw kalo mau, silakan play mulmed juga ya
_________________________________________

Raka sedikit menjauhkan wajahnya dari telinga Ega ketika tidak lagi mendengar deru kepayahan nafas lelaki itu setelah dia membisikkan rangkaian kalimatnya. Nafas Ega perlahan terdengar lebih pelan dan lemah di saat bersamaan. Perlahan Raka mengusap air mata yang mendadak mengalir dari mata Ega yang terpejam. Gerakannya begitu lembut seolah takut menambah kesakitan Ega jika dia lebih kasar sedikit saja. Sekali lagi pria itu mencondongkan tubuhnya mendekat, membisikkan kalimat syahadat di telinga Ega seraya salah satu tangannya mengusap puncak kepala Ega. Memorinya bersama Ega memenuhi ingatan ketika dia melakukan itu.

Jika boleh jujur, keduanya dekat, sangat dekat. Di Magic Shop, Raka adalah healer tertua -- satu-satunya orang yang membuat Ega dapat bebas bertingkah layaknya seorang 'adik'. Karena Ega juga termasuk salah satu yang tertua di sana dan otomatis lebih menjaga sikap di depan mereka yang lebih muda. Ega dan Damar berada di urutan dua dan tiga dalam posisi healer tertua, keduanya setahun lebih muda dari Raka. Sementara Ega tiga minggu lebih tua dari Damar.

Lantunan pelan kalimat syahadat yang Raka bisikkan berhenti beberapa detik setelah dia sadar tubuh di hadapannya sudah tidak lagi bernyawa.

"Sudah," ujar Edgar pelan, mengusap pipi Ega sekilas setelah mendekatkan jemarinya ke arah lubang hidung Ega demi memastikan adiknya sudah benar-benar tidak bernafas.

Air mata Arum kembali mengalir, wanita itu lagi-lagi menangis. Kali ini tanpa suara. Namun dia dengan cepat mengusap air matanya.

"Sudah Mas, makasih," Edgar sekali lagi berucap.

Raka meremat pundak Edgar, lalu menepuknya pelan, "Sama-sama." Dia menyempatkan mengatur posisi berbaring Ega agar terlihat lebih rapi.

"Kakak masih nafas itu?" tanya Rena pelan, mendadak tidak bisa membedakan apa Ega masih bernafas atau tidak.

"Udah enggak Ren, Kakak udah gak ada," jawab Arum yang membuat si bungsu ber-Oh ria dan mengangguk paham.

"Abang bisikin apa?" Asa dengan cepat berbisik begitu Raka sudah berdiri tegak di sebelahnya. Mata lelaki itu memerah, siap menumpahkan air mata.

Sementara di sampingnya Raka berpikir sejenak, menimbang apa yang akan dia sampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan Asa sebelum memutuskan untuk menjawab dengan kalimat, "Ngomong kalo dia udah berusaha dengan baik, bekerja keras selama ini, selalu. Cuma itu yang dia mau, diakui," Raka tersenyum tipis sebelum menepuk pundak Asa, "Ayo ikut keluar. Perlu ngabarin tetangga."

Pertama, mereka bukan warga daerah ini. Kedua, mereka baru beberapa kali berkunjung kemari.

Namun beruntung keduanya sempat mengenal Pak Deni dan Bu Ratna. Mereka bisa meminta bantuan kedua orang itu untuk masalah pemberitaan kematian dan pengurusan jenazah dengan bantuan warga sekitar. Setidaknya harus ada yang bergerak bukan? Sementara keluarga Ega jelas masih terpukul di sini. Mungkin mereka masih memerlukan waktu untuk sendiri untuk menerima kepergian si anak tengah keluarga Hendrawan, singkatnya mereka masih sibuk menangisi kepergian Ega.

Atau tidak.

Lebih tepatnya salah satu dari mereka terlihat tidak menangis sejak beberapa waktu lalu.

Rena, gadis itu terlihat begitu normal. Tidak ada air mata yang menggenangi matanya sama sekali. Terakhir kali gadis itu menangis adalah ketika dia baru saja memasuki kamar Ega tiga jam lalu. Setelahnya, dia termasuk yang paling tegar. Bahkan Arum dan Sitta sempat sekali dua kali menangis dan mata Edgar sempat berkaca-kaca selama bergiliran menunggui Ega tiga jam ini. Namun Rena tidak.

BIRUWhere stories live. Discover now