22

719 72 7
                                    

Warning : Part ini dan part depan bisa jadi sangat membosankan karena menceritakan hal yang sama

___________________________________________

"Jadi?" akhirnya Edgar bertanya jengah.

Pasalnya, tidak ada titik terang dari permainan yang sudah Ega mulai. Ketiganya duduk melingkar di atas karpet bulu, mengelilingi lilin aromaterapi -- yang Rena temukan diantara lilin-lilin lain beberapa waktu lalu. Diam dan hanya mengamati nyala lilin itu tanpa ada yang berkata apapun. Hingga suara Edgar memecah keheningan beberapa saat lalu.

Ega menatap sang kakak dan adiknya bergantian, memainkan pinggiran lilin untuk mengurangi salah tingkahnya.

"Siapa yang mulai duluan? Gak ada yang mau ngomong dulu?" tanyanya.

"Kamu dulu gimana? Kan kamu yang tahu aturan mainnya."

"Aturannya jangan nyela, boleh tanya cuma pas ada jeda. Gak boleh mendadak marah, ada waktu buat jelasin dari sudut pandangnya masing-masing."

Mereka kembali terdiam setelahnya.

Menit-menit kembali berlalu, hingga Ega memutuskan untuk memulai lebih dulu.

"Aku...selalu ingin jadi yang terbaik diantara kalian," kalimat pembuka yang Ega lontarkan membuat kedua saudaranya serempak mengalihkan pandangan padanya.

Hanya sejenak karena kemudian Edgar kembali sibuk mengarahkan pandangan pada jemarinya sementara Rena memainkan pop socket ponsel. Ega sendiri juga enggan menatap mereka, lelaki itu lebih memilih memfokuskan pandangan pada nyala lilin.

"Karena apapun yang aku lakuin, aku gak pernah dilihat. Gimana rasanya diandalkan sama papa, dicari, dibutuhkan dan diutamakan kayak Abang. Gimana rasanya dimanja, ditemani kemanapun, dituruti kemauannya dan dilindungi sama mama dan papa kayak kamu Ren. Aku pengen ngerasain itu. Mereka cuma memberi seadanya. Kamu tahu Ren? Waktu kamu masih SD dan mama sering jemput kamu, aku rasanya iri dan bertanya kenapa mama gak ngelakuin itu waktu aku seusia kamu? Kenapa mama jauh lebih sering di toko? Pernah mama jemput aku, sejauh yang aku ingat cuma sekali waktu aku kelas IV. Dan aku seneng, cuma hal macam itu aku seneng," Ega tersenyum simpul, mendadak merasa iba pada dirinya saat masih kecil dulu. Nasibnya sebagai si anak tengah memang demikian. Dia bisa merasa bahwa rasa bangga dan kasih sayang yang dicurahkan kepadanya berbeda dengan yang diberikan kepada si sulung dan si bungsu. Di beberapa cerita, nasib seorang anak tengah memang terkadang demikian.

"Aku juga iri waktu papa ambil raport Abang, sering nganter Abang sekolah. Sejauh ini, papa cuma sekali hadir di acara sekolah aku. Waktu aku ada pengumuman kelulusan SMP. Yang lainnya kakek yang hadir. Dan waktu aku SMA, Abang yang hadir tiap pengambilan raport. Waktu SMA, papa emang beberapa kali nganter aku. Biarpun ujungnya sepanjang jalan kita cuma diem gak ngomongin apa-apa, aku nikmatin masa-masa itu."

"Tapi tetep aja aku gak ada tempat lebih disini. Aku tetep yang dicari waktu kalian butuh. Dan dilupakan waktu kalian seneng-seneng. Inget waktu di nikahan Arini?" Momen pernikahan sepupu mereka kembali mengusik ingatan Ega. "Waktu kita diminta foto bareng sama pengantin dan keluarga masing-masing. Waktu ngarahin gaya..."Ega mengerjap ketika merasa matanya memanas, "Kalian sibuk ngatur gaya. Ngumpulin semua anggota keluarga kita tapi kalian lupa kalo aku ada. Kalian seolah lupa kasih tempat, kalian gak manggil aku yang berdiri agak jauh. Aku tahu ini lebay...tapi kalian gak akan pernah tau gimana rasanya dilupain. Harusnya aku gak usah baper, langsung aja gabung ikutan berdiri di dekat kalian. Itu cara paling simple dan normal, tapi aku gak bisa karena..." Ega mendongak, mencoba menahan agar air matanya tidak jatuh, dia menarik nafas dalam. Mengamati saudara-saudaranya yang masih sibuk menunduk. 'Aku gak bisa karena aku ngerasa aku gak diharepin, aku gak dianggap pantes berdiri di sana bareng kalian,' lanjut Ega dalam hati.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang